Al Mahdi Will Become a “Superhero” Figure in the Real World

What we do not realize has happened in the life of the world in the last 10-20 years is that the theme of “super heroes” has so massive filled our space of consciousness. This assimilation occurs not only in children but also in us adults.

The Super Hero theme can be said to have become a new embroidery in our realm of consciousness. We all become familiar with it and see it as part of (possible) reality. It becomes new knowledge. Become part of ideas and hopes – “extreme solutions” to problems that are also extreme.

This means, actually a new paradigm is growing in our collective consciousness as human beings. Paradigm, which directs our emotional and intellectual discipline to present substantial judgments. To be known; intention, which is the basis of our moral judgment in front of God, arises from this “substantial assessment”. Because, from there triggered “behavior based on our conscious desires”.

For all these phenomena the relevant question arises, namely: What kind of cosmic mechanism does the Creator wish to adapt to in our realm of consciousness? – What are the important things back there that are “waiting to happen”?

In order to answer that question, it is important to look back at the information we have inherited from ancient times, the following …

Prophecies from various religious traditions about the figure of the Savior (Superhero)

In the sacred texts of the world’s major religions (call it Christianity, Islam, Hinduism, Buddhism, Zoroastrianism, etc.), there is a fragment of the ancient narrative about the presence of a savior at one point in the future.

This narrative is like information that is constantly being recycled. It continues to be present in various layers of age and human civilization which, despite different names, however, the purpose and moral substance carried by the figure of the savior in question can be said to remain the same.

Yes, since time immemorial, this information has been successfully transmitted into human memory from time to time – integrated as part of religious doctrine. On the other hand, this is indeed part of a little oasis in the religious world that can raise hope in the aspect of faith. This is often the subject of insults from secular people. In fact, such insults sometimes also come from members of the religious community itself – from groups who consider belief in future predictions to be forbidden.

Al Mahdi Akan Menjadi Sosok “Superhero” di Dunia Nyata

Apa yang tidak kita sadari terjadi dalam kehidupan dunia dalam 10-20 tahun terakhir adalah bahwa telah begitu masifnya tema “pahlawan super” mengisi ruang kesadaran kita. Asimilasi ini terjadi tidak saja pada anak-anak tapi juga kita orang dewasa.

Tema Pahlawan Super bisa dikatakan telah menjadi sulaman baru dalam alam kesadaran kita. Kita semua menjadi begitu mengenalinya. Kita semua akrab dan melihatnya sebagai bagian dari (kemungkinan) realitas. Ia menjadi pengetahuan baru. Menjadi bagian dari ide dan harapan – sebagai “solusi ekstrim” untuk masalah yang juga ekstrim.

Untuk semua fenomena ini, pertanyaan yang relevan muncul, yaitu: Mekanisme kosmik seperti apa yang ingin diadaptasi oleh Sang Pencipta dalam alam kesadaran kita? – Apa hal penting di belakang sana yang “menunggu untuk terjadi”?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk melihat kembali informasi yang kita warisi dari zaman kuno, berikut ini…

Nubuat dari berbagai tradisi agama tentang sosok Sang Penyelamat (Superhero)

Dalam teks suci agama-agama besar dunia (sebut saja Kristen, Islam, Hindu, Budha, Zoroastrianisme, dll.), Terdapat kepingan narasi kuno tentang kehadiran sosok penyelamat di satu titik di masa depan.

Narasi ini seperti informasi yang terus didaur ulang. Terus hadir di berbagai lapisan zaman dan peradaban manusia yang, walaupun berbeda nama, namun, tujuan dan substansi moral yang diusung sosok penyelamat yang dimaksud bisa dikatakan tetaplah sama.

Sosok Sang Penyelamat itu disebut ‘Messiah‘ dalam bahasa Ibrani dan ‘Crist‘ dalam bahasa Yunani. Kedua sebutan ini sama-sama berarti “yang diurapi,” yaitu seseorang yang secara khusus dipilih oleh Tuhan dan diberi seperangkat kuasa demi kesuksesan misinya. Dia akan menjadi demonstrasi terakhir dan bukti belas kasih Tuhan yang senantiasa ingin memperkenalkan umat manusia jalan hidup yang benar.

Bagi umat Hindu, sosok penyelamat yang ditunggu disebut ‘Kalki’, yang secara harfiah berarti: “melakukan segala sesuatu” / “kotor, penuh dosa”, hal ini menunjukkan bahwa sebelum akhirnya terlahir kembali sebagai avatar Wisnu, ia sebelumnya adalah manusia biasa yang tidak luput dari melakukan kesalahan. Dengan kata lain, ia akan mengalami “pencerahan” untuk terlahir kembali sebagai avatar Wisnu.

Panji Hitam Sebagai Metafora dan Penanda Kemunculan al Mahdi

Dalam apokaliptik Islam, “panji hitam” sebagai penanda kemunculan Al Mahdi adalah salah satu tema yang sangat sering dibicarakan.

Seringnya istilah ini digunakan oleh kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politiknya, nampaknya adalah salah satu hal yang membuat hadist tentang panji hitam menjadi begitu kontroversi.

Salah satu hadist yang terkenal terkait panji hitam, yang diriwayatkan Ibni Abi Syaibah dan Nu’aim bin Hammad dalam Al Fitan dan Ibnu Majah dan Abu Nu’aim dari Ibnu Mas’ud, berbunyi:

Ketika kami berada di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba datang sekumpulan anak-anak muda dari kalangan Bani Hasyim. Melihat mereka, maka kedua mata Rasulullah berlinang air mata dan wajahnya berubah. Akupun bertanya: “Mengapakah kami melihat pada wajahmu, sesuatu yang kami tidak sukai?”.

Beliau menjawab: “Kami Ahlul bait telah Allah pilih untuk kami akhirat lebih dari dunia, kaum kerabatku akan menerima bencana dan penyingkiran sepeninggalanku kelak, sampai datangnya suatu kaum dari sebelah Timur yang membawa bersama mereka panji-panji berwarna hitam.

Mereka kaum yang meminta kebaikan, tetapi tidak diberikan. Maka mereka berjuang dan memperoleh kemenangan. Lalu diberikanlah apa yang mereka minta itu, tetapi mereka tidak menerimanya, hingga mereka menyerahkannya kepada seorang lelaki dari kaum kerabatku yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana bumi dipenuhi dengan kedurjanaan.

Siapa pun di antara kamu yang sempat menemuinya (mencapai masanya), datangi dan beri dia kesetiaanmu walau pun engkau harus merangkak di atas salju. Sesungguhnya dialah Al Mahdi.”

Di masa sekarang, beberapa kalangan menganggap panji hitam yang datang dari timur yang dibawa pasukan Al Mahdi, mengadopsi Ar-Rayah, yaitu panji perang pada zaman Nabi Muhammad yang berwarna dasar hitam.

Di sisi lain, sejarah mencatat bahwa bendera kebesaran Islam pada zaman Nabi Muhammad disebut Al-Liwa yaitu sebuah bendera berukuran besar berwarna putih.

Eseni, Komunitas Asketik Yahudi Kuno yang Menentang Otoritas Israel

Eseni (bahasa Inggris: Essenes) adalah nama komunitas asketik Yahudi di masa kuno, yang menurut literatur, hidup dan berkembang di Palestina dari sekitar abad ke-2 SM sampai akhir abad ke-1 M. (sumber di sini)

Meskipun  di dalam kitab Perjanjian Baru nama komunitas ini tidak disebutkan, tetapi informasi mengenai mereka terdapat dalam catatan yang diberikan oleh Yosefus, Philo dari Aleksandria, dan Pliny the Elder.

Philo (Philo of Alexandria) yang sezaman dengan Yesus mengatakan bahwa mereka (Eseni) hidup terpisah jauh dari kota, memiliki kehidupan komunal dan menghindari ibadah di kuil (bait suci). Mereka memiliki tiga aturan: cinta Tuhan, cinta kebajikan, dan cinta umat manusia. Philo menyebut orang Eseni “yang suci,” yang dianggap berasal dari bahasa Yunani “osioi”.

Pliny mengatakan pemukiman komunitas Eseni terletak di En Gedi, tepi barat Laut Mati. Ia menyebut mereka sebagai “keajaiban dunia”, dan mencirikannya sebagai sebuah ras yang terus melestarikan keberadaan komunitasnya selama berabad-abad meskipun berkomitmen untuk tidak beristri.

Pliny menggambarkan Kaum Eseni berkumpul dalam komunitas biara yang, secara umum setidaknya, tidak mengikutsertakan wanita. Properti dimiliki bersama dan semua detail kehidupan sehari-hari diatur oleh manajemen biara. Kaum Eseni tidak pernah banyak; Pliny menetapkan jumlah mereka sekitar 4.000 pada zamannya.

Yosefus yang dalam waktu yang singkat pernah menjadi bagian dari orang Eseni, juga ada mencatat pola hidup komunal orang Eseni dan, kecenderungan mereka untuk membujang serta memberi ruang bagi anak yatim piatu untuk mereka perlakukan sebagai anak mereka sendiri. 

Mengenai keyakinan khusus mereka, Josephus mencatat: ” … mereka sangat yakin bahwa tubuh mereka binasa dan substansinya tidak tahan lama, tetapi jiwa tidak berkematian … dan bahwa ketika dilepaskan dari ikatan tubuh, mereka, seolah-olah dilepaskan dari perbudakan yang lama, bersukacita dan naik ke atas.” Yosefus dikritik karena mencoba menjelaskan kepercayaan Essene sedemikian rupa sehingga membuatnya tampak serupa dengan pemikiran Yunani.

Asal Usul Orang Eseni

Mengenai asal usul orang Eseni, di kalangan sarjana terdapat silang pendapat. Ada yang mengatakan bahwa orang Eseni adalah percabangan dari golongan Farisi yang mengikuti aturan paling kaku dari kemurnian Lewi.

Lamed Vav Tzadikim: 36 Orang Saleh yang Mengembara di Bumi

Menurut tradisi mistik Yahudi kuno, dalam setiap zaman di sepanjang sejarah umat manusia ada 36 orang saleh yang mengembara di bumi tanpa diketahui identitasnya oleh orang lain. 

Orang-orang rahasia ini adalah orang-orang saleh yang tindakannya luhur dan penuh kasih sayang.  Dikatakan bahwa demi merekalah Tuhan tidak menghancurkan dunia, bahkan ketika dosa menguasai umat manusia.

Dalam mistisisme Yahudi abad pertengahan, 36 manusia itu kemudian dikenal sebagai Tzadikim Nistarim, artinya “orang-orang saleh yang tersembunyi” (Tzadikim= Orang saleh; Nistarim= tersembunyi). Mereka juga dikenal sebagai Lamed Vav Tzadikim, artinya “36 orang saleh”. 

Sebutan Lamed Vav merujuk pada konsep Gematria Ibrani. Lamed, huruf keduabelas dalam alphabet hebrew, memiliki jumlah gematria 30, sementara Vav, huruf keenam dalam alphabet hebrew, memiliki jumlah gematria 6.

Orang-orang Yahudi hasid, yaitu  cabang Yahudi Ortodoks yang menjadikan mistisme Yahudi sebagai aspek fundamental kepercayaannya, Percaya bahwa 36 orang suci tersebar di antara diaspora komunitas Yahudi di seluruh penjuru dunia. Mereka terkadang mengaitkan kekuatan luar biasa dan kualitas kesucian yang dimiliki oleh rabi mereka, dimungkinkan oleh karena rabi tersebut telah berguru pada salah satu orang suci tersebut.

Yahudi hasid percaya bahwa, kadang-kadang salah seorang dari Tzadikim Nistarim akan muncul untuk menyelamatkan komunitas Yahudi atau sekelompok orang yang tidak bersalah dari bencana atau penganiayaan, lalu kemudian akan kembali menghilang. 

Menghilang yang dimaksudkan adalah bahwa mereka kembali berbaur dalam kehidupan masyarakat umum dan melakukan rutinitas yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah orang suci yang special. Mereka adalah manusia biasa, yang hidup dan mati seperti orang lain. Ketika salah satu dari mereka telah tiba ajalnya, perannya kemudian diteruskan oleh sosok lain yang terpilih. Jadi, mereka akan senantiasa berjumlah 36 orang.

Menapak Jalan Sepi Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Jika saya ditanya, dari mana saya memperoleh informasi terkait berbagai hal yang saya ulas dalam tulisan saya selama ini, tentu idealnya saya akan menjawab jika semua itu semata-mata datangnya dari Allah. Karena, saya sangat percaya bahwa seseorang tidak akan mengetahui sesuatu jika Dia tidak menghendaki seseorang itu mengetahuinya, sebagaiman firman-Nya:

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. ( Q.S. Al Baqarah : 269 )

Namun, tentunya memang ada baiknya jika saya jelaskan pula bagaimana secara teknis tulisan itu dapat saya susun. 

Seperti halnya proses persiapan menulis yang dilakukan setiap orang, saya pun juga sangat banyak membaca, menelusuri suatu subyek dari satu buku ke buku lainnya. Hingga tanpa terasa, bisa mencapai belasan atau bahkan puluhan buku ataupun artikel ilmiah saya baca untuk mendalami materi tulisan yang ingin saya susun.

Bisa saya katakan bahwa, untuk semua tulisan yang telah saya posting selama ini, saya telah membaca ribuan buku dan sejumlah jurnal ilmiah, dari dalam dan luar negeri.

Biasanya, di jeda istirahat dalam proses membaca itu, saya luangkan waktu yang cukup panjang untuk merenung (kontemplasi), dan mencoba merekonstruksi informasi-informasi yang telah saya dapatkan tersebut di dalam alam pikiran.

Proses reka ulang dalam alam pikiran inilah yang dalam pandangan saya merupakan hal terpenting. Di tahap inilah momentum letupan denyaran intuitif melintas – memproyeksikan hal-hal di masa lalu yang ingin saya ketahui.

Masukan yang diperoleh secara intuitif tentu saja butuh pemaparan yang didukung oleh data faktual sehingga nantinya dapat mudah diterima oleh alam pikiran logis para pembaca.

Karena itu, jika proses baca sebelumnya bisa dikatakan adalah merupakan proses membuka cakrawala, maka, dalam proses baca saya selanjutnya, saya telah mulai secara spesifik mencari data-data yang dapat membuktikan apa yang saya temukan secara intuitif dalam proses kontemplasi.

Ini sejalan dengan teori proses kreatif yang disampaikan Graham Wallas dalam karyanya Art of Thought yang diterbitkan pada tahun 1926.

Menurut Wallas, wawasan dan iluminasi kreatif dapat dijelaskan melalui proses yang terdiri dari 5 tahapan:

  • (i) preparation (melakukan persiapan diri, yakni memfokuskan pikiran pada masalah dan mengeksplorasi dimensi masalah)
  • (ii) incubation (masalah diinternalisasi ke dalam pikiran bawah sadar)
  • (iii) intimation (orang yang kreatif mendapat “perasaan” (isyarat) bahwa solusi sedang dalam perjalanan)
  • (iv) illumination atau insight (tahap di mana ide kreatif muncul dari pemrosesan pengetahuan pra-sadar menjadi pengetahuan sadar)
  • (v) verification (tahap di mana ide secara sadar diverifikasi, dielaborasi, dan kemudian diterapkan).

Makna Nubuat “The Four Horsemen”

The Four Horsemen (empat penunggang kuda) adalah sebuah metafora tentang nubuat masa depan, yang terdapat dalam Kitab terakhir dari Perjanjian Baru. Biasa juga disebut kitab wahyu. 

Kitab ini ditulis oleh Yohanes (dalam Islam dikenal sebagai nabi Yahya), karena itu kitab ini biasa juga disebut Kitab Wahyu kepada Yohanes.

Kitab Wahyu mengutarakan pemikiran tentang penglihatan apokaliptik Yohanes tentang Tujuh segel simbolis, yang mana setiap pembukaan segel tersebut dianggap menandai dimulainya periode tertentu di masa depan.

Dalam Nubuatnya Yohanes mengatakan, satu-satunya yang layak untuk “membuka” kitab / gulungan  yang disegel, disebut sebagai “Anak Domba”.

Kata “membuka” dalam hal ini maksudnya: menjelaskan makna kalimat metafora yang disandang nubuat tersebut, yang sebelumnya dirahasiakan (disegel) dari pengetahuan umat manusia.

Adapun mengenai pembahasan tentang “Anak Domba”, setidaknya, telah saya ulas dalam tiga seri artikel ini:

Misteri Angka 144 dalam Kepercayaan Kuno

Lamed Vav Tzadikim: 36 Orang Saleh yang Mengembara di Bumi

Kaitan Angka 144 yang Sakral Dalam Tradisi Ibrani dan Angka 8291 yang Disebut Dalam Wangsit Jayabaya (Tradisi Jawa)

Pembahasan “empat penunggang kuda” berada pada Wahyu 6:1-8. Pada bagian ini tergambar jika periode kemunculan masing-masing penunggang kuda adalah seiring dengan dibukanya satu demi satu segel. Dengan kata lain, “empat penunggang kuda” mengiringi pembukaan 4 segel dari ketujuh segel yang ada.

Penunggang kuda pertama berada di atas kuda putih, membawa busur, dan diberi mahkota, tampil sebagai sosok Penakluk. 

Penunggang kuda kedua berada di atas kuda merah, membawa pedang, diinterpretasikan merupakan pencipta Perang. 

Penunggang kuda ketiga berada di atas kuda hitam, membawa timbangan, diinterpretasikan sebagai pedagang, dan juga melambangkan Kelaparan.

Penunggang kuda keempat berada di atas kuda berwarna pucat (kuning kehijauan), diberi wewenang atas seperempat bumi, untuk membunuh dengan pedang, kelaparan, wabah, dan melalui binatang buas di bumi.

Apokalips: Penyingkapan Hal-hal yang Selama Ini Tersembunyi dalam Sejarah Umat Manusia

Dalam bahasa Inggris, kata Apokalips (inggris: apocalypse) pada masa sekarang umumnya merujuk pada makna: akhir dunia. 

Bentuk etimologinya sendiri dianggap berasal dari Latin ‘apocalypsis’, dan Yunani kuno  ‘apokalupsis’, yang secara harfiah berarti ‘mengungkap’ ( dari apo = setelah, dan kalupto = aku menutupi). 

Dr. Richard Goswiller menjelaskan jika kata ‘apocalypse’ adalah sebuah istilah Yunani yang ditemukan dalam Perjanjian Baru yang berarti “penyingkapan atau pengungkapan hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui dan yang tidak dapat diketahui selain melalui penyingkapan” (Goswiller, R., 1987: 3, Revelation, Pacific Study Series, Melborne).

Dalam  bidang eskatologi, literatur apokaliptik akrab kita temukan.

Literatur apokaliptik umumnya merinci visi tentang akhir zaman yang diwahyukan Sang Pencipta kepada para nabi atau orang-orang suci di masa lalu, melalui perantara utusan surgawi (malaikat), atau dapat juga melalui mimpi. Misalnya Daniel, tokoh suci yang dikisahkan dalam Alkitab dan juga dikenal dalam tradisi Islam, diriwayatkan mendapatkan penglihatan apokaliptik melalui mimpinya.

Sepanjang sejarah umat manusia, ada banyak para nabi dan tokoh-tokoh suci dari berbagai agama yang diriwayatkan mendapatkan pengetahuan apokaliptik. nabi Adam mendapatkan visi bahwa dunia akan mendapatkan pemurnian melalui bencana banjir bah dan bencana kebakaran api, nabi Idris mendapatkan visi bahwa di masa depan sejarah akan dimanipulasi oleh pihak tertentu. 

Nabi Muhammad mendapatkan visi bahwa menjelang akhir dunia umat manusia akan dilanda perang, berjangkitnya wabah, dan masih banyak lagi lainnya, begitu juga Buddha Gautama, mendapatkan visi yang dapat dikatakan senada dengan apa yang disampaikan nabi Muhammad (tentang perang dan wabah penyakit).

Kenyataan bahwa pengetahuan apokaliptik adalah merupakan ‘wahyu tentang akhir dunia’, yang nampaknya menjadikan Makna kata “apocalypse” dalam bahasa inggris dapat berarti ‘wahyu’ dan dapat pula berarti ‘kiamat’ atau ‘akhir dunia’.

Pengetahuan apokaliptik dari para nabi dan orang suci dari masa lalu inilah yang kemudian menjadi literatur bergenre apokaliptik dalam naskah-naskah suci berbagai tradisi agama.

Meskipun visi tentang kejadian di masa depan telah sampai pada kita melalui naskah-naskah apokaliptik, namun kenyataannya, visi tersebut tetap saja tidak mudah untuk dipahami, sehingga pada masa sekarang kita pada umumnya menyebutnya ‘nubuat’.

Kesulitan memahami nubuat tentang akhir zaman memang dapat dimengerti, dikarenakan narasinya terkadang bersifat metafora, dan walaupun beberapa diantaranya bukanlah sebuah metafora, tapi narasinya tidak secara spesifik menyebutkan waktu kejadian – sehingga pada akhirnya kita tetap dituntut untuk berupaya menafsirkan.