Esensi Bahasa Adam

Bahasa pada dasarnya adalah: “kumpulan nama-nama”. 

Dengan kata lain, semua “kata” yang kita kenal di dalam bahasa, pada dasarnya merupakan: 

  • nama-nama benda (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata benda)
  • nama-nama tindakan (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata kerja)
  • nama-nama sifat (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata sifat).

Suatu hal menarik karena, pemahaman bahwa bahasa sebagai “kumpulan nama-nama,” rupa-rupanya telah pula dimiliki oleh leluhur kita jauh di masa lalu.

Hal ini dapat kita temukan buktinya pada bahasa tae’ (bahasa tradisional yang pada umumnya digunakan orang Luwu dan Toraja di Sulawesi Selatan), yakni pada kata “sanga” yang bermakna: “kata” dan juga “nama”, tergantung penempatannya pada bentuk kalimat mana ia digunakan. 

Contoh pertama: apa na sanga? – artinya: apa katanya? (pada contoh kalimat ini “sanga” bermakna “kata”, yang mana kita ketahui bahwa “kata” adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri). 

Contoh kedua: inda sanganna? – Artinya: siapa namanya? (pada contoh kalimat ini “sanga” bermakna “nama”). 

Dari uraian ini, dapat kita lihat bahwa dengan cara yang unik, bahasa tae’ menunjukkan kepada kita bahwa “kata” dan “nama” adalah leksikon yang identik satu sama lain.

Hal yang senada sebenarnya juga dapat kita temukan dalam bahasa Inggris. Misalnya dalam kalimat “Name your price!” yang dapat bermakna: “sebutkan hargamu!” walaupun secara harfiah artinya adalah: name (nama); your price (hargamu). Ini fakta bahwa dalam bahasa Inggris pun ‘nama’ dan ‘kata’ menunjukkan leksikon yang identik.

“Nama” atau “kata” inilah yang jika disusun sedemikian rupa dapat memunculkan “makna” -yang berwujud: sebagai sebuah pesan dalam kegiatan berkomunikasi; dan, sebuah struktur logika dalam kegiatan berpikir. Dengan kata lain, Bagi manusia, guna bahasa bukan hanya untuk berkomunikasi tapi juga untuk berpikir.

Ada beberapa tokoh pemikir berpengaruh yang tampil menunjukkan bahwa “pikiran dan bahasa” sebagai hal yang sama. Antara lain: Plato, Kant, Watson, Wittgenstein, dan Humboldt.

Humboldt misalnya, mencatat bahwa “Language is the formative organ of thought… Thought and language are therefore one and inseparable from each other.” Yang kurang lebih artinya: bahasa adalah organ formatif pikiran (red: yang memformat pemikiran) … Karena itu pikiran dan bahasa adalah satu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Jerry Fodor dalam bukunya The Language of Thought (1975), untuk pertama kali, memperkenalkan The language of thought hypothesis (LOTH), yakni sebuah hipotesis bahwa representasi mental memiliki struktur linguistik, atau dengan kata lain, pemikiran itu terjadi dalam bahasa mental

Inilah makna dari Surat Al-Baqarah Ayat 31: Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama…” yang pada dasarnya sama dengan mengajarkan Adam berbahasa.

Lauh Mahfuzh dan Internet, Dua Jaringan Global yang Diakses Manusia

Teknologi internet yang berkembang pesat di abad 21 ini, perlahan namun pasti telah membentuk suatu kesadaran baru, tentang cara pandang bahwa, kita (manusia) kini terhubung secara global.

Dampak signifikan dari keterhubungan secara global tersebut adalah pesatnya arus informasi. Pada hari ini, kejadian di suatu sisi belahan bumi yang dulunya butuh waktu beberapa hari, bulan, dan bahkan tahun, untuk dapat diketahui oleh orang-orang yang hidup di sisi belahan bumi lainnya, kini, dapat diketahui secara real time atau detik itu juga.

Selain memungkinkan pertukaran informasi secara real time, jaringan internet juga memfasilitasi akses ke server bank data yang kini banyak dikembangkan oleh perusahaan raksasa dunia, melalui mesin pencarian (search engine) seperti google.

Adanya aplikasi penerjemahan bahasa, di sisi lain, memudahkan setiap orang untuk memahami suatu data informasi yang tersaji dalam bentuk bahasa asing.

Fasilitas penerjemahan google misalnya, yang mendukung lebih dari 100 bahasa yang semakin hari semakin mendekati tingkat penerjemahan bahasa dengan tata bahasa yang tepat — berkat teknologi Google Neural Machine Translation (GNMT) yang Pada bulan November 2016 resmi mereka launching, bisa dikatakan adalah salah satu kemewahan peradaban di abad 21 ini.

Kesamaan Jaringan Internet dan Lauh Mahfuzh

Sistem kerja yang kita ketahui berlaku pada jaringan internet, bisa dikatakan identik dengan yang berlaku pada server alam semesta “Lauh Mahfuzh”.

Lauh Mahfuzh atau yang kadang disebut juga Akashic Records, telah diketahui sejak masa kuno sebagai medium penyimpanan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. 

Meskipun telah diketahui sejak masa kuno, namun, hanya sedikit saja “orang khusus” yang mampu mengakses secara signifikan data yang tersimpan di server alam semesta ini. 

Ini tidak berarti manusia awam tidak mampu mengakses. Pada kenyataannya, sebelum umat manusia mengenal dan terhubung secara global melalui jaringan internet, umat manusia telah terlebih dahulu terhubung satu sama lain melalui jaringan Lauh Mahfuzh. 

Walaupun tentu saja, dari sejak masa kuno, hanya sangat sedikit saja orang yang memiliki pemahaman tentang adanya Lauh Mahfuzh sebagai jaringan yang menghubungkan seluruh manusia di muka bumi.

Oleh “orang-orang khusus” tersebut, pemahaman tentang Lauh Mahfuzh menjadi hal yang sangat dirahasiakan, dan digunakan untuk kalangan yang sangat terbatas.

Lauh Mahfuzh sebagai suatu jaringan global, akhirnya mengemuka dan menjadi pembahasan umum di kalangan ilmuwan manakala Pierre Teilhard de Chardin (Seorang filsuf idealis Prancis, merupakan profesor geologi di Institut Catholique di Paris, dan dikenal sebagai Pastor Jesuit, paleontolog, dan paleoanthropologist) menghadirkan pemikirannya tentang konsep Noosfer (Noosphere). 

Esensi Bahasa Adam

(sumber ilustrasi: quietrev.com)

Bahasa pada dasarnya adalah: “kumpulan nama-nama”. 

Dengan kata lain, semua “kata” yang kita kenal di dalam bahasa, pada dasarnya merupakan: 

  • nama-nama benda (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata benda)
  • nama-nama tindakan (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata kerja)
  • nama-nama sifat (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata sifat).

Suatu hal menarik karena, pemahaman bahwa bahasa sebagai “kumpulan nama-nama,” rupa-rupanya telah pula dimiliki oleh leluhur kita jauh di masa lalu. Hal ini dapat kita temukan buktinya pada bahasa tae’ (bahasa tradisional yang pada umumnya digunakan orang Luwu dan Toraja di Sulawesi Selatan), yakni pada kata “sanga” yang bermakna: “kata” dan juga “nama”, tergantung penempatannya pada bentuk kalimat mana ia digunakan. 

Contoh pertama: apa na sanga? – artinya: apa katanya? (pada contoh kalimat ini “sanga” bermakna “kata”, yang mana kita ketahui bahwa “kata” adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri). 

Contoh kedua: inda sanganna? – Artinya: siapa namanya? (pada contoh kalimat ini “sanga” bermakna “nama”). 

Dari uraian ini, dapat kita lihat bahwa dengan cara yang unik, bahasa tae’ menunjukkan kepada kita bahwa “kata” dan “nama” adalah leksikon yang identik satu sama lain.

Hal yang senada sebenarnya juga dapat kita temukan dalam bahasa Inggris. Misalnya dalam kalimat “Name your price!” yang dapat bermakna: “sebutkan hargamu!” walaupun secara harfiah artinya adalah: name (nama); your price (hargamu). Ini fakta bahwa dalam bahasa Inggris pun ‘nama’ dan ‘kata’ menunjukkan leksikon yang identik.

“Nama” atau “kata” inilah yang jika disusun sedemikian rupa dapat memunculkan “makna” -yang berwujud: sebagai sebuah pesan dalam kegiatan berkomunikasi; dan, sebuah struktur logika dalam kegiatan berpikir. Dengan kata lain, Bagi manusia, guna bahasa bukan hanya untuk berkomunikasi tapi juga untuk berpikir.

Ada beberapa tokoh pemikir berpengaruh yang tampil menunjukkan bahwa “pikiran dan bahasa” sebagai hal yang sama. Antara lain: Plato, Kant, Watson, Wittgenstein, dan Humboldt.

Humboldt misalnya, mencatat bahwa “Language is the formative organ of thought… Thought and language are therefore one and inseparable from each other.” Yang kurang lebih artinya: bahasa adalah formatif organ pemikiran… Karena itu pikiran dan bahasa adalah satu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Jerry Fodor dalam bukunya The Language of Thought (1975), untuk pertama kali, memperkenalkan The language of thought hypothesis (LOTH), yakni sebuah hipotesis bahwa representasi mental memiliki struktur linguistik, atau dengan kata lain, pemikiran itu terjadi dalam bahasa mental.

Bisa jadi inilah makna dari Surat Al-Baqarah Ayat 31: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama…” yang pada dasarnya sama dengan mengajarkan Adam berbahasa.