Ini adalah lanjutan dua artikel sebelumnya: Mengungkap Sosok Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha dan Fakta Ratu Sima sebagai Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha.
Sesuai judulnya, artikel ini mengungkap hipotesis mengenai letak makam Ratu Sima atau yang di Luwu lebih dikenal sebagai Simpurusiang.
Dengan metode seperti yang saya gunakan untuk melacak tempat berlabuhnya bahtera Nabi Nuh, yaitu meninjau nama gunung “judi” dalam aksara Cina (silahkan baca di sini: Ini Jawaban Misteri Bahtera Nabi Nuh), saya mencoba meninjau nama simpurusing, dan hasilnya sebagai berikut….
SI bermakna “divisi/ departemen”, dapat pula dimaknai “bidang”, MA bermakna “kuda”, PU bermakna “tepi sungai”, RU bermakna “susu”, SI bermakna “mati atau kematian”, dan AN bermakna “rahasia atau secara rahasia”.
Susunan hasil penerjemahan ini menjadi: “bidang – kuda – tepi sungai – susu – mati – secara rahasia”. Ini tentulah membutuhkan penafsiran lebih lanjut. Cukup lama saya merenung mencoba memecahkan kode ini, hingga suatu saat secara intuitif saya mendapat bentuk penafsirannya menjadi: “bidang tanah berbentuk kuda di tepi sungai ussu, kematian (kuburan) yang dirahasiakan”.
Saat mendapatkan bentuk penafsiran ini, saya cukup terkejut karena setelah membuka googlemap, ternyata bidang tanah yang berbentuk kuda memang terdapat di pinggiran sungai Ussu. Sungai ini berada di wilayah Balantang, Luwu Timur (selatan desa Manurung).
Sebelumnya tak seorang pun masyarakat lokal yang menyadari Keberadaan bidang tanah yang berbentuk kuda ini. Mungkin dikarenakan bidang kuda ini cukup luas, mencapai beberapa ratus hektar. Jika diukur menggunakan Google earth, dari ujung kepala sampai ujung pantat kuda mencapai 1,6 km, sementara dari punggung hingga ujung kaki mencapai hampir 1 km. Jadi, agar dapat melihat bentuknya dengan jelas kita butuh berada di atas ketinggian beberapa ratus meter dari permukaan tanah.
Bukan Penerawangan Mistis
Perlu saya tekankan bahwa temuan ini sifatnya bukan penerawangan mistis, tapi melalui metode tinjauan bahasa, berawal dari keyakinan dasar saya bahwa bahasa dan aksara merupakan instrumen intelektual paling primordial yang digunakan manusia dalam mengembangkan peradaban.
Hal ini yang mendorong saya beberapa tahun terakhir ini secara khusus mempelajari aksara dan bahasa dari empat wilayah di dunia yang membentuk dasar peradaban besar dunia, yaitu: India, Cina, Yunani dan Semitik.
Hasilnya, saya menemukan fakta bahwa orang-orang zaman dahulu mengembangkan bentuk ungkapan idiom (perandaian) bukan saja sebagai komsumsi estetika, tapi tujuan utama sebenarnya adalah merekam pesan tertentu.
Bentuk idiom itu lalu mereka rangkum (padatkan) lagi dalam bentuk aksara dan simbol. sehingga butuh pemahaman dan wawasan luas tentang “sejarah aksara” dan “bahasa utama” untuk memecahkan pesan tersebut.
Bisa dikatakan “angka dan aksara tertentu” merupakan medium penyimpanan mereka sekaligus merupakan kunci dari setiap teka-teki yang dimunculkan.
Oleh Roderick Bucknell dan Martin Stuart-Fox, metode ini dipopulerkan dengan sebutan “The Twilight Language” (bahasa senja) dari bentuk aslinya “Samdhya-bhasa” atau “sandha-bhasa“.
Seperti yang dinyatakan Bucknell dan Stuart-Fox “Dalam tradisi Vajrayana, yang sekarang sebagian besar dipertahankan dalam sekte Tibet, telah lama diakui bahwa ajaran-ajaran penting tertentu diungkapkan dalam bentuk bahasa simbolik rahasia yang dikenal sebagai Samdhya-bhasa…” [Bucknell, Stuart-Fox (1986), p.vii ]
Sebagai bagian dari tradisi inisiasi esoterik, teks-teks yang berisi ajaran penting tertentu, tidak boleh digunakan oleh mereka yang tidak memiliki panduan yang berpengalaman. Dikatakan jika teks-teks tersebut tidak dapat dipahami tanpa komentar lisan khusus dari para guru Vajrayana yang berwenang. [Simmer-Brown (2002), p.169]
Saya cukup yakin jika metode semacam ini bukan hanya ada pada Vajrayana (tradisi buddha), tapi jauh sebelum munculnya ajaran Buddha, metode ini telah digunakan. Dapat dikatakan mereka yang mewarisi dan melestarikannya.
Pernyataan saya ini setidaknya dapat dilihat kebenarannya tersaji pada Hermeneutika Talmud yang memiliki aturan dan metode dalam penyelidikan dan penentuan yang tepat untuk makna ayat suci dalam Alkitab Ibrani.
Aturan-aturan itu antara lain:
- interpretasi huruf-huruf dalam sebuah kata sesuai dengan nilai numeriknya.
- penafsiran suatu kata dengan membaginya menjadi dua kata atau lebih.
- interpretasi sebuah kata menurut bentuk konsonannya atau menurut vokalisasinya.
- interpretasi sebuah kata dengan mengubah huruf-hurufnya atau dengan mengubah vokalnya.
Dua poin terakhir adalah aturan/ metode yang paling sering saya gunakan, terutama untuk mencermati adanya kemungkinan aspek morfologi yang disebabkan perubahan fonetis.
Dalam tradisi tasawwuf Islam diyakini bahwa “ilmu huruf” ini adalah salah satu dari empat ilmu yang mutlak dimiliki Khatamul Auliyah.
***
Demikianlah, tiga seri artikel mengenai kisah kehidupan Ratu Sima.
Yang pembahasannya dimulai dari sosok dirinya sebagai orang yang telah dinubuatkan Sang Buddha, yang akan hadir menjadi penguasa dunia (Chakravartin).
Berlanjut ke pembahasan babak masa kecil dirinya yang penuh penderitaan.
Hingga akhirnya, takdir menuntunnya bertemu Patianjala Pangeran ksatria bangsa laut Bajou yang kemudian menjadi suaminya.
Dari titik ini, kecemerlangan hidupnya tidak lagi terbendung. Terutama ketika dia diboyong Patianjala ke negeri asal para dewa, Luwu, yang di sana ia kemudian diangkat sebagai ratu, dan menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Sailendra.
Jika materi dalam ketiga artikel ini dirangkum, menjadi novel atau film, mungkin judul tepatnya adalah “THE RISE OF SIMA”.