Ini Personifikasi Hawa di Masa Kuno

Ibu Hawa bisa dikatakan sosok yang paling sedikit mendapat pembahasan dalam literatur sejarah manusia. Nampaknya, hal ini mungkin dikarenakan sosoknya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran profil Adam sebagai manusia pertama.

Namun demikian, pada kenyataannya, banyaknya jejak yang ia tinggalkan di dunia jauh melampaui jejak Nabi atau sosok penting manapun dalam sejarah manusia. 

Sosok personifikasinya hadir hampir dalam semua kebudayaan besar di masa kuno, dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Untuk memahami fakta hal ini, mengenal bagaimana sosoknya dipersonifikasi adalah satu-satunya jalan.

Dalam banyak mitologi, Nabi Adam dan Ibu Hawa disimbolisasi dalam beragam nama dan karakter. Personifikasi tersebut merupakan wujud konsekuensi dari sudut pandang bangsa-bangsa kuno dalam memahami dan mengapresiasi eksistensi sosok mereka. 

Di titik ini, Hal terpenting yang mesti dipahami adalah bahwasanya masa hidup Nabi Adam, dan terutama Ibu Hawa, jika merujuk pada literatur yang ada, bisa jadi mencapai masa hidup lebih dari seribu tahun. 

Jika dalam tradisi berbagai agama, disebutkan masa hidup Nabi Adam hampir mencapai seribu tahun (sekitar 960 tahun), maka Ibu Hawa yang ditinggal pergi, tidak ada satupun catatan yang secara spesifik menyebut berapa lama masa hidupnya. 

Dari personifikasi sosoknyalah sebagai Dewi Ushas dalam Rigveda, yang memungkinkan kita bisa mendapat sedikit gambaran, bahwa bisa jadi ia hidup lebih lama setelah meninggalnya Nabi Adam. 

Hal tersebut dapat kita cermati tersirat Pada Rigveda, hymne 7.77 : “dia juga mengajukan petisi untuk diberikan umur panjang, karena dia konsisten mengingatkan orang-orang akan waktu yang terbatas di bumi“. Tujuan permohonannya agar diberi umur panjang bisa dicermati pada hymne 1.48, yang berbunyi: “Dia yang memelihara/ merawat/ menjaga semua hal, layaknya seorang janda yang baik“. 

Secara pribadi saya membayangkan bahwa setelah ditinggal pergi suaminya, Ibu Hawa menyadari makna penting dirinya sebagai seorang ibu. Dan nampaknya ia berjuang untuk itu, untuk memastikan masa depan yang baik bagi anak cucunya.

Fase-fase kehidupan Nabi Adam dan Ibu Hawa inilah yang kemudian termitologisasi dalam tradisi berbagai bangsa kuno. Ada mitologisasi yang menggambarkan kehadiran awal mereka di dunia, ada mitologisasi yang menggambarkan perjuangan mereka berdua, dan ada pula mitologisasi yang menggambarkan perjuangan ibu Hawa setelah ditinggal mati suaminya.

Melalui pencermatan personifikasi mereka dalam mitologisasi tersebut, kita dapat merekonstruksi suatu gambaran besar kesejarahan berbagai bangsa kuno yang mengisi tiap stage-stage peradaban dunia dalam durasi waktu ribuan tahun di masa lalu. 

Hal Ini dapat dimungkinkan dengan mencermati fase kehidupan manakah dari Nabi Adam dan Ibu Hawa yang menjadi tema mitologisasi dari bangsa-bangsa kuno tersebut.

Dan berikut ini beberapa bentuk mitologisasi tersebut…

Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong

Metafora adalah gaya bahasa yang umum digunakan leluhur kita di masa kuno dalam mengungkap sesuatu. Terutama terhadap kejadian, figur, atau hal-hal apapun yang dianggap sangat sakral dan sifatnya suci. 

Selain sebagai wujud penghormatan terhadap apa yang dianggap Sakral tersebut, kenyataannya, gaya bahasa metafora memang memiliki kedalaman atau keluasan makna yang bisa dikatakan tepinya tak terjangkau nalar – sehingga dengan demikian bernuansa kesadaran kosmis.

Namun, kelebihan gaya bahasa metafora yang demikian itu pulalah yang membuat kita pada hari ini kesulitan dalam memahami informasi dari masa kuno secara komprehensif.

Bahkan dalam beberapa kasus, terkadang divonis “tak layak menjadi sumber rujukan sejarah” oleh beberapa sejarawan. Hal ini setidaknya menjadi topik perdebatan tersendiri di kalangan sarjana dalam beberapa dekade terakhir.

Misalnya, Ian Caldwell dalam sebuah tulisannya dengan tegas menyatakan bahwa Sure Galigo (naskah kuno berisi mitologi Luwu/ Bugis) tidak dapat dijadikan sebagai sebuah sumber sejarah bagi rekonstruksi Kedatuan Luwu karena unsur anakronisme pada hampir semua penceritaannya.

Penegasannya ini sekaligus merupakan kritik yang dialamatkan Ian Caldwell pada Pelras yang menjadikan karya sastra seperti I La Galigo sebagai sumber penelitiannya. 

Demikianlah, informasi dari masa kuno (lisan maupun tulisan) yang tersusun dalam bentuk gaya bahasa metafora, oleh kalangan sarjana di masa modern dikategorikan sebagai sebuah karya sastra. Umumnya dianggap sebagai hasil karya imajinatif, fiksi, dan karena itu tidak dapat dijadikan sebagai rujukan riset ilmiah terkait kesejarahan.

Memosisikan informasi dari masa kuno sedemikian rupa tentunya adalah hal yang sangat disayangkan. Terlebih lagi jika kita telah memahami bahwa uraian-uraian yang bersifat simbolik yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya adalah pesan-pesan yang spesifik yang jika kita mampu menerjemahkannya secara benar akan menjadi rujukan informasi yang sangat berharga.

Berikut ini, saya menyajikan pengungkapan sosok dan asal usul Dewi Fajar yang melegenda di masa kuno sebagai contoh kasus tentang upaya yang dapat dilakukan dalam menerjemahkan informasi dari masa kuno yang bersifat simbolik menggunakan metode perbandingan mitologi (Mythology Comparative), dan perbandingan bahasa (language Comparative).

Dalam tulisan sebelumnya: Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong,  telah saya urai hipotesis bahwa letak pegunungan Latimojong yang tepat berada di garis bujur 120 derajat menyiratkan kemungkinan sebagai asal usul disebutnya wilayah Nusantara sebagai “negeri sabah” atau “negeri pagi” di masa kuno.

Oleh karena, ketika matahari terbit di wilayah ini, pada saat yang sama, di Tuvalu sebagai tempat terawal terbitnya matahari telah menunjukkan pukul jam 10 pagi.

Menyingkap Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong

Metafora adalah gaya bahasa yang umum digunakan leluhur kita di masa kuno dalam mengungkap sesuatu. Terutama terhadap kejadian, figur, atau hal-hal apapun yang dianggap sangat sakral dan sifatnya suci oleh mereka. 

Selain sebagai wujud penghormatan terhadap apa yang dianggap Sakral tersebut, kenyataannya, gaya bahasa metafora memang memiliki kedalaman atau keluasan makna yang bisa dikatakan tepinya tak terjangkau nalar, sehingga dengan demikian bernuansa kesadaran kosmis.

Namun, kelebihan gaya bahasa metafora yang demikian itu pulalah yang membuat kita pada hari ini kesulitan dalam memahami informasi dari masa kuno secara komprehensif. Bahkan dalam beberapa kasus, beberapa di antaranya telah divonis “tak layak menjadi sumber rujukan sejarah” oleh beberapa kalangan sejarawan. Dan hal ini telah menjadi topik perdebatan khusus di kalangan sarjana setidaknya dalam beberapa dekade terakhir.

Misalnya Ian Caldwell dalam sebuah tulisannya dengan tegas menyatakan bahwa Sure Galigo tidak dapat dijadikan sebagai sebuah sumber sejarah bagi rekonstruksi Kedatuan Luwu karena unsur anakronisme pada hampir semua penceritaannya. Penegasannya ini sekaligus merupakan kritik yang dialamatkan pada Pelras yang menjadikan karya sastra seperti I La Galigo sebagai sumber penelitiannya. 

Demikianlah, informasi dari masa kuno (lisan maupun tulisan) yang tersusun dalam bentuk gaya bahasa metafora, oleh kalangan sarjana di masa modern kemudian dikategorikan sebagai sebuah karya sastra. Umumnya dianggap sebagai hasil karya imajinatif, fiksi, dan karena itu tidak dapat dijadikan sebagai rujukan riset ilmiah terkait kesejarahan.

Memosisikan informasi dari masa kuno sedemikian rupa tentunya adalah hal yang sangat disayangkan. Terlebih lagi jika kita telah memahami bahwa uraian-uraian yang bersifat simbolik yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya adalah pesan-pesan yang spesifik yang jika kita mampu menerjemahkannya secara benar akan menjadi rujukan informasi yang sangat berharga.

Berikut ini, saya menyajikan pengungkapan sosok dan asal usul Dewi Fajar yang melegenda di masa kuno sebagai contoh kasus tentang upaya yang dapat dilakukan dalam menerjemahkan informasi dari masa kuno yang bersifat simbolik, menggunakan metode perbandingan mitologi (Mythology Comparative), dan perbandingan bahasa (language Comparative).

Dalam tulisan sebelumnya: Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong,  telah saya urai hipotesis bahwa letak pegunungan Latimojong yang tepat berada di garis bujur 120 derajat jika mengacu  pada konsensus dunia modern yang meletakkan 0 meridian di greenwich, yang memang sejajar dengan maroko, yang di masa lalu akrab dengan sebutan “kerajaan barat”, lalu titik garis bujur 180 derajat berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu, samudera pasifik) menyiratkan kemungkinan sebagai asal usul disebutnya wilayah Nusantara sebagai “negeri sabah” atau “negeri pagi” di masa kuno. Ini disebabkan oleh karena ketika matahari terbit di wilayah ini, pada saat yang sama, di Tuvalu sebagai tempat terawal terbitnya matahari telah menunjukkan pukul jam 10 pagi.