“Banawasha – Argwonoyo – Urjanu – Urr’jawa’nu” Sebutan Warna Ungu dalam Bahasa Aram, Bahasa Suryani, dan Bahasa Phoenicia, Yang Kental Bernuansa Jawa

Ada banyak literatur kuno yang menggambarkan jika warna ungu merupakan warna yang diagungkan pada masa kuno. Bahkan, dikatakan warna ungu khusus digunakan oleh kalangan atas saja. 

Pliny the Elder (23 M – 79 M), dalam buku kesembilan dari Natural History-nya, menggambarkan kemegahan dan kemewahan yang diwakili oleh warna ungu: “Di Asia ungu yang terbaik adalah Tirus, […]. Untuk warna inilah kapak Roma memberi jalan di tengah kerumunan; inilah yang menegaskan keagungan masa kanak-kanak; inilah yang membedakan senator dari barisan berkuda; orang-orang yang tersusun dalam warna ini adalah orang-orang yang beribadah.” 

Ketika Raja Persia Cyrus mengadopsi tunik ungu sebagai seragam kerajaannya, di Romawi, kaisar melarang warganya memakai pakaian ungu ketika menjalani hukuman mati, sementara hakimnya menggunakan jubah ungu ketika menjatuhkan hukuman. Pada zaman Nero, penyitaan properti bahkan hukuman mati dijatuhkan bagi mereka yang kedapatan berpakaian ungu kekaisaran. 

Di masa Kekaisaran Bizantium, ungu bahkan dipuja dengan cara lebih militan. Penguasanya senantiasa mengenakan jubah ungu, serta menandatangani dekrit mereka dengan tinta ungu. Di Konstantinopel, kamar tidur kaisar dicat dengan warna ungu, dan putranya, yang lahir di ruangan tersebut, menikmati gengsi memiliki nama panggilan Porphyrogenitus : “lahir dalam warna ungu”.

Demikianlah, selama berabad-abad tradisi menggunakan warna ungu sebagai warna kekaisaran terus berlangsung hingga ke zaman Kekaisaran Romawi Suci, bahkan hingga hari ini, pada keuskupan Katolik Roma kita masih dapat melihat warna ungu sebagai warna yang istimewa.

Jika kita menoleh jauh ke belakang untuk mencoba mencari tahu dari semenjak kapan warna ungu ini digunakan, kita bisa menemukan laporan dari beberapa sejarawan yang menginformasikan bahwa orang-orang Fenesialah yang bertanggung jawab atas kemunculan warna ungu, dan ini berkontribusi pada reputasi mereka.

Orang-orang Yunani memberi mereka nama Fenisia (phoenix) sehubungan dengan warna ungu yang mereka buat sebagai salah satu spesialisasi utama mereka.

Dalam mitologi, legenda Penemuan warna ungu dikaitkan dengan dewa Melqart, dewa pelindung kota Tirus dan merupakan dewa utama orang Fenisia. Dalam legenda tersebut diceritakan bahwa ketika dewa Melqart sedang berjalan di pantai bersama peri Tyros, anjingnya menemukan cangkang kerang dan mengunyahnya. Rahangnya kemudian dipenuhi warna ungu. 

Peri Tyros mengagumi warna tersebut dan meminta Melqart menghadiahkan kepadanya kain dengan warna yang indah seperti itu. Untuk menyenangkan kekasihnya, Melqart memerintahkan mengumpulkan kulit kerang untuk dijadikan bahan pewarna kain.

 Lukisan
 Lukisan “Hercules Dog Discovers Purple Dye”  oleh Peter Paul Rubens. Di Yunani Melqart diidentikkan dengan Herakles. (sumber: pixels.com/augusta-stylianou) 

Dari sudut pandang arkeologis, sisa-sisa pewarna yang ditemukan di pantai timur Laut Mediterania, membuktikan bahwa industri pewarna ungu sudah ada di sana sejak zaman kuno. Pada tahun 1934, Franois Thureau-Dangin (1872-1944), arkeolog dan epigrafis Prancis menerbitkan teks runcing dari Ugarit, yang mengabarkan bahwa sekitar 3500 tahun yang lalu, seorang pedagang lokal mencatat tagihan sejumlah wol ungu kepada beberapa orang yang berhutang kepadanya. [Nina Jidejian, Tyr a travers les ages, 1996: 279]

Identifikasi Jati Diri Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh

Selain dikenal sebagai tokoh penting dalam pewayangan – pengasuh / penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana, Semar juga merupakan entitas mistis yang mengisi panggung dunia spiritual masyarakat Jawa.

Mark R. Woodward, peneliti etnografi Jawa dari berkebangsaan Amerika, dalam bukunya berjudul “Islam Jawa ; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan” mengatakan: Semar juga dianggap sebagai pembimbing spiritual dalam pengertian yang lebih umum. Banyak mistikus Yogyakarta yang mencari inspirasi darinya dan secara rutin berkunjung ke candi di Serandil yang diyakini merupakan tempat berkubur.

Woodward juga mengatakan, ada pandangan yang berkembang di antara para mistikus Yogyakarta bahwa, peran Semar dalam mistisisme sama dengan Nabi Muhammad dalam sistem kesalehan Islam normatif. Beberapa di antaranya lebih jauh melukiskannya sebagai “nabi batin.

Hal ini dianggap Woodward sebagai tema yang menguat di dalam kepercayaan kraton Yogyakarta, tempat posisi Semar paralel dengan Sunan Kalijaga. Sebagaimana wali, Semar membantu Sultan mengatur wewenang yang ia transendensikan sendiri. Dalam hal ini, Sultan dianggap sebagai keturunan langsung dari Arjuna, dan karena itulah berhak atas bantuan dan perlindungan Semar. 

Lebih jauh Woodward juga mengatakan, para informannya yang berasal dari kalangan istana percaya bahwa Sultan bisa berbicara langsung dengan Semar, yang membimbing adminstrasi kerajaan maupun persoalan keagamaan pribadi Sultan.

Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya “Sufi pinggiran: menembus batas-batas” (2007:113-114) mengatakan, dalam tradisi Jawa Semar bukan saja tokoh dalam dunia wayang tetapi juga merupakan legenda dan mitos politik.

Dalam legendanya, Semar dikenal sebagai tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan karismatik sekaligus rasional. Selain itu ia juga menyimpan sumber daya kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayan atau kasekten dan kekuatan spiritual luar biasa.

Demikianlah kurang lebih, seperti apa keistimewaan sosok Semar dalam tradisi masyarakat Jawa.

“Puzzle” Pohon Cemara

Seperti biasa, ketika saya mengamati sesuatu objek yang ingin saya cermati, pendekatan linguistik dalam hal aspek homofon, menjadi salah satu fokus perhatian utama saya.

Nama ‘Semar’, dalam pandangan saya, cukup homofon dengan “cemara”. Dugaan awal ini kemudian saya tindaklanjuti dengan mencari tahu nama lain dari pohon cemara. Hasilnya, saya menemukan hal menarik, dan saya pikir berpotensi menjadi “puzzle” penting untuk mengungkap asal usul sosok Semar.

Nama latin pohon Cemara adalah “Casuarina“. Nama ini berasal dari sebutan pohon Cemara dalam bahasa Melayu yakni “Pohon Kasuari”. Habitat asli pohon ini adalah wilayah Asia tenggara, Benua Australia, hingga kepulauan di Pasifik. (sumber di sini)

Arcapada dan Bunga Ungu di Singgasana Dewa Yama

Dalam tulisan sebelumnya (Ini Asal-Usul Nama “Jawa” Menurut Konsep Lokapala…) telah saya urai bahwa: …nama Yama yang berarti “kembar” dalam sanskerta, sinonim dengan makna kata “sama” yang dalam bahasa Indonesia berarti “serupa”. 

Yang jika ditinjau dalam bahasa daerah di Nusantara, kata “sama” disebut “padha” dalam bahasa Jawa ataupun bahasa Tae.

Menariknya, dalam mitologi Jawa, sebutan “Arcapada” bermakna: “dunia bawah, atau neraka”. Makna ini tentunya sejalan dengan status Yama sebagai penguasa dunia bawah, alam kematian, atau Neraka dalam konsep Lokapala. 

Sementara itu dalam tulisan “Nuansa Jawa pada Kata Ungu dalam Bahasa Phoenicia dan Bahasa Kuno Lainnya”, telah saya urai bahwa jika meninjau nama Dewa Melqart (dewa pelindung Bangsa Phoenicia) menurut komposisi abjad yang digunakan bangsa Phoenicia, yakni “MLK QRT” yang artinya “Raja Kota”, maka bunyi nama tersebut mestilah “Malaka Qarta”, Malaka = “Raja”, dan Qarta = “Kota”.

Mengenai MLK yang bermakna “Raja”, anda dapat membaca penjelasannya di sini: https://id.wikipedia.org/wiki/Molokh 

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa tiga huruf semitik yang bentuk latinisasinya menjadi M-L-K, adalah berarti “raja”.

Umumnya sejarawan dunia menganggap jika susunan ketiga huruf itu mestilah ditulis: Moloch, Molech, Molekh, Molok, Molek, Molock, atau Moloc. Tapi, saya pikir ada satu hal yang terlewatkan oleh mereka. 

Yaitu pertimbangan bahwa karena Dewa Melqart adalah dewa bangsa laut Phoenicia, maka dapat diduga jika bahasa yang digunakan oleh mereka adalah bahasa yang bercirikan bahasa bangsa maritim.

Ciri khas kosakata bahasa bangsa maritim adalah senantiasa menunjukkan suku kata yang berakhir dengan vokal. Hal ini sebagaimana yang diungkap John Inglis, seorang misionaris asal Skotlandia yang melakukan perjalanan ke Vanuatu antara tahun 1850-1877, bahwa ciri bahasa melayu (bangsa maritim) adalah setiap suku kata berakhir dengan vokal. 

Jadi saya pikir, “Moloch, Molech, Molekh, Molok, Molek, Molock, atau Moloc” adalah bentuk interpretasi yang tidak didasari pemahaman ilmu linguistik tentang bahasa bangsa maritim di masa kuno.

Demikianlah, fakta bahwa bentuk dasar nama Melqart adalah “Malaka Karta” mau tidak mau mengarahkan pemikiran kita pada kemungkin bahwa, ia berasal dari wilayah Nusantara. 

Hal ini menjadi bukti keselarasan Dewa Yama dengan Dewa Melqart bukan hanya pada sisi bahwa mereka adalah sama-sama penguasa dunia bawah, tapi juga secara spesifik, menunjukkan indikasi kuat jika mereka berdua sama-sama berasal dari Nusantara.

Asal Kata “Baka” dalam Frasa “Alam Baka” dan Kisah Kuno yang Menyertainya

“Baka” sesungguhnya adalah sebuah kata misterius yang memendam banyak rahasia dari dunia kuno. Ada banyak perdebatan serta kebuntuan pencarian di kalangan sejarawan dunia yang telah berlangsung ribuan tahun, terkait kata ini.

Mengapa kata “baka” ini dianggap penting? oleh karena, kata ini ada disebutkan dalam kitab suci, tiga agama Samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam).

Umumnya sejarawan di kalangan Islam menganggap kata ‘Baka’ atau ‘Bakka’ yang disebut dalam Surat Ali Imran ayat 96 (Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah yang di Bakka, yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam), merujuk pada kota Makkah atau Mekkah di jazirah Arab.

Begitu juga dengan kata ‘baka’ yang disebut dalam kitab Mazmur 84:6 (Apabila melintasi lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air; bahkan hujan pada awal musim menyelubunginya dengan berkat), oleh sejarawan Islam umumnya mengidentifikasinya sebagai Makkah atau Mekkah.

Terkait klaim sejarawan Islam ini, Sejarawan Ibrani maupun Kristiani umumnya terkesan tidak sependapat. 

Demikianlah, untuk lebih meramaikan polemik ini, dalam kesempatan ini saya akan mengajukan sebuah pandangan alternatif terkait asal usul kata ‘baka’.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘baka’ berarti: tidak berubah selama-lamanya; abadi; kekal – yang lebih merupakan definisi atau keterangan terkait sifat yang berlaku di “alam baka” yakni, kekal atau abadi.

Dalam penggunaannya, frasa “alam baka” umumnya kita temukan sinonim dengan frasa “alam kubur” atau “alam kematian”.

Dalam semua mitologi bangsa-bangsa besar di masa kuno, mulai dari Jepang, Cina, Nusantara (Indonesia), India, Persia, Mesir, hingga Yunani, semuanya mengenal adanya “dunia bawah”, atau “alam kematian”, atau kadang juga disebut “Naraka atau Neraka”. 

Penguasa dunia bawah, dikenal dengan banyak nama. Dalam tradisi Hindu / Buddha dikenal dengan nama Yama, di Persia Yima, di Fenesia Melqart, di Yunani Hades. Tapi nama  ‘Yama’ nampaknya yang paling terkenal, dikarenakan terbawa seiring penyebaran ajaran Buddha ke berbagai wilayah.

Sampai di sini, tentu pembaca sekalian dapat mencermati, bahwa dalam hal ini, Saya menggali asal usul kata ‘baka’ ini menurut pemahaman bahwa ia adalah sebutan untuk “alam kematian”, dan lebih jauh menggalinya menurut tinjauan aspek mitologi kuno.

Tinjauan lain yang ingin saya ajukan adalah tinjuan linguistik. Dan saya pikir ini bagian yang menarik.

Fakta Jejak Kuno di Balik Nama “Sunda”

Pada hari ini, nama Sunda, selain dikenal sebagai salah satu nama suku di Indonesia yang mendiami wilayah bagian barat pulau Jawa, juga digunakan sebagai istilah dalam geologi untuk menyebut landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara, yang Massa daratan utamanya meliputi Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Dalam buku The Geography, ditulis sekitar tahun 150 M, Claudius Ptolemy ada menyebut kata “sundae” (tertulis: sindae) yang terdiri dari tiga pulau, dan ditambahkannya komentar bahwa beberapa orang mengatakan ada lima pulau. Catatan Ptolemy inilah yang dianggap sebagai catatan terawal tentang nama Sunda.

Mengenai kata “sunda” yang tertulis “Sindae” dalam buku Ptolemy, seperti sejarawan-sejarawan lainnya, Arnold Hermann Ludwig Heeren (1760-1842), seorang sejarawan Jerman, dalam bukunya “Historical Researches into the Polics, Intercourse, and Trade of the Principal Nations of Antiquity” memberi komentar yang tampaknya juga memaklumi adanya sedikit perbedaan tersebut.

“the very name of sunda, however, may be found in Ptolemy; for he notice three island in this situation called sinde. Three others are likewise mentioned under the name of sabadib, in which we again meet with the Hindu termination dib, or more correctly dwipa, …” kata Heeren.

Dalam kitab I La Galigo yang berisi cerita mitologi Bugis kuno, juga ada disebutkan nama wilayah “Sunra ri lau” (artinya: Sunda di timur), dan “Sunra ri aja” (artinya: Sunda di barat). Ini mungkin menjadikan kitab I La Galigo sebagai salah satu manuskrip kuno dari Nusantara, yang secara jelas ada menyebutkan toponim “Sunda”.

Etimologi nama Sunda

Menurut Rouffaer (1905: 16) kata Sunda berasal dari akar kata “sund” atau kata “suddha” yang dalam bahasa Sanskerta berarti: Bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289).

Dalam bahasa jawa kuno (kawi) dan bahasa Bali, disebutkan juga terdapat kata “sunda”, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/ bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219). (sumber di sini)

Sebagai bahan pertimbangan, dalam tulisan ini saya mengajukan suatu usulan bahwa ada kemungkinan makna sesungguhnya dari kata “Sunda” adalah: Selatan. 

Ini Asal-Usul Nama “Jawa” Menurut Konsep Lokapala (bagian 2)

Pada bagian 1 telah saya ulas informasi yang sejauh ini mengemuka dalam khasanah literatur kita terkait asal usul nama “Jawa”. Seperti pendapat yang mengusung sumber kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya pulau bernama Yavadvip(a) (dvipa berarti “pulau”, dan yava berarti “jelai” atau juga “biji-bijian”), dan beberapa lagi pendapat lainnya.

Di bagian ke 2 ini, saya akan fokus membahas asal usul nama Jawa menurut konsep Lokapala (penjaga mata angin).

Dalam tradisi Hindu dikenal konsep “Lokapala” yaitu tentang dewa-dewa penjaga arah mata angin. Dewa-dewa tersebut adalah: 

  1. Indra (Timur)
  2. Kubera (Utara)
  3. Varuna (Barat)
  4. Yama (Selatan)

Dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya banyak menekankan bahwa yang disebut sebagai dewa dalam banyak mitologi kuno, sesungguhnya adalah merupakan bentuk personifikasi orang-orang besar, orang suci, atau bahkan para nabi yang hidup di masa kuno. 

Upaya pengidentifikasian atau penafsiran Personifikasi semacam ini, bahkan telah mulai dilakukan sejak masa Yunani kuno. Hal itu dikenal dengan periode sinkretisme – atau “interpretatio graeca” artinya “terjemahan Yunani” atau “interpretasi dengan menggunakan [model] Yunani”.

Yang pada dasarnya merupakan upaya menafsirkan atau mencoba memahami mitologi dan agama dari budaya lain, dengan membandingkannya dengan konsep Yunani kuno dalam hal praktik keagamaan, dewa, dan mitos, untuk melihat kesetaraan dan karakteristik yang sama. [Mark S. Smith: God in Translation: Deities in Cross-Cultural Discourse in the Biblical World, 2008: 39]

Interpretasi semacam ini telah pula saya bahas dalam artikel Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya”.

Dalam artikel tersebut saya mengulas bahwa pada masa kuno, Nabi Idris dikenal sebagai Changjie dalam mitologi Cina, Dewa Varuna dalam mitologi India, Dewa Thoth dalam mitologi Mesir kuno, dan Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno.

Interpretasi kesamaan tersebut, salah satunya disampaikan oleh Abu’l-Faraj (Abulpharagius) Seorang uskup Syria, filsuf, penyair, sejarawan, dan teolog, yang mengatakan dalam bukunya Ta’rih muhtasar ed-duwal (ed. Salhani, hal. 11) bahwa, Henokh (Idris) adalah identik dengan Hermes Trismegistus, yang oleh sementara orang Arab menyebutnya Idris. (Untuk lebih lengkapnya silahkan membaca artikel ini “Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya”).

Jika Dewa Varuna adalah personifikasi nabi Idris, lalu siapakah yang diinterpretasi sebagai Indra, Kubera, dan Yama?

Ini Asal-Usul Nama “Jawa” Menurut Konsep Lokapala (bagian 1)

Ketika kita mencari tahu asal usul nama “Jawa”, di Wikipedia kita dapat temukan sajian narasi bahwa “hal itu dapat dilacak pada kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya pulau bernama Yavadvip(a) (dvipa berarti “pulau”, dan yava berarti “jelai” atau juga “biji-bijian”). 

Penjelasan tersebut merujuk pada apa yang disampaikan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “The History of Java” (1965: hlm. 3). Dan nampaknya ini adalah argumen asal usul nama “Jawa” yang paling banyak tersebar luas selama ini.

Ron Hatley memberikan dugaan lain bahwa kata “Jawa” berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia yang berarti “rumah” (“Mapping cultural regions of Java” in: Other Javas away from the kraton. pp. 1–32)

Selama itu, sebutan “Jawa” oleh para ilmuwan sejarah biasanya dianggap terkait dan merupakan bentuk perubahan fonetis dari kata “saba” yang memang banyak ditemukan dalam catatan-catatan kuno.

Kata ‘saba’ dianggap transliterasi dari sebutan ‘She-po’ yang merupakan sebuah toponim dalam kronik cina kuno untuk suatu negeri di wilayah laut selatan (nan hai) yang kita kenal sebagai nusantara atau Indonesia pada hari ini.

Senada dengan hal ini, Giovanni de Marignolli, seorang musafir katolik terkemuka dari Eropa yang berkelana ke Cina pada abad-14 Masehi, menyampaikan dalam catatan perjalanannya bahwa, ketika ia dalam perjalanan pulang dari Cina untuk kembali ke Avignon (Italia), ia memutuskan menggunakan jalur laut, setelah sebelumnya menggunakan jalur darat untuk memasuki wilayah Cina, yang dengan demikian, memungkinkan ia untuk dapat mampir di Nusantara dan India. 

Dalam perjalanan pulang ini ia mengatakan menyempatkan diri mengunjungi negeri Saba yang disebut dalam kitab suci, yang ia temukan masih dipimpin oleh seorang ratu. 

Ia menyebut kerajaan itu terletak di pulau paling indah di dunia. Dinding istana dihiasi dengan gambar-gambar historis yang bagus; kereta dan gajah banyak digunakan, terutama untuk para wanita; ada gunung yang sangat tinggi, yang disebut Gybeit atau “Yang Terberkati.” 

Ratu memperlakukan dengan baik para pelancong dengan menghadiahkan mereka ikat pinggang emas; ada beberapa orang-orang Kristen di sana.

Mencermati catatan Marignolli ini, dapat diduga bahwa negeri  ‘saba’ yang ia datangi tersebut adalah jawa, dan kerajaan yang ia kunjungi adalah majapahit yang pada saat itu dipimpin oleh Tribhuwana Tunggadewi segera setelah Raja Jayanagara mangkat. 

Hal ini sejalan dengan fakta yang ditunjukkan dalam piagam Berumbung yang dikeluarkan oleh Rani Tribhuwana Tunggadewi pada tahun Saka 1251 bulan Bhadra atau sekitar Agustus-September 1329 Masehi. Waktu ini sesuai dengan kisaran tahun perjalanan Marignolli di asia. (Piagam Berumbung, 1329, disinggung oleh N.J. Krom _dalam “Epigraphisce Aanteekeningen XIII”, T.B.G. LVIII, hlm. 161; diumumkan pada tahun 1915 dalam O.V., no. 2, hlm. 68; dibahas oleh F.H. van Naerssen dalam B.K.I. 1933, hlm. 239-258). 

Dr. Maharsi dalam kamus Jawa Kawi Indonesia (Pura Pustaka, 2009) menganggap bahwa kata “Saba” berasal dari kata bahasa Jawa kawi yaitu ‘Saba’ yang berarti “pertemuan” atau “rapat”. Dengan demikian kata itu menurutnya dapat diartikan sebagai “tempat bertemu”.

Senada dengan pernyataan Dr. Maharsi, Fahmi Basya dalam bukunya “Indonesia Negeri Saba”, lebih menginterpretasikan bahwa kata tersebut berarti “tempat bertemu”, “tempat berkumpul”, atau “tempat berkumpulnya bangsa-bangsa”. 

Demikianlah informasi yang sejauh ini mengemuka dalam khasanah literatur kita terkait asal usul nama “Jawa”.