Jejak Kuno Bahasa: Tae’, Tamil, dan Rumpun Indo-Eropa

Dalam satu dekade terakhir ini, internet dan terutama fasilitas penerjemahan online, telah berperan besar mengungkap sisi gelap sejarah bahasa yang selama ini menjadi ranah “kajian spekulasi” para ahli bahasa, sejarawan maupun antropolog dalam mengarahkan bentuk skenario historiografi dunia.

Fenomena ini dapat kita amati pada metode pengelompokan rumpun bahasa yang memunculkan konsep “keterpisahan linguistik”, yang dalam beberapa waktu belakangan ini, hasil studi linguistik komparatif malah menunjukkan hasil sebaliknya. Ditemukan ada banyak kesamaan leksikon antara bahasa yang tidak berada dalam rumpun bahasa yang sama.

Seperti yang ditunjukkan oleh Alvaro Hans (2017) dalam bukunya “Proto-Indo-European Language: FACE UNVEILED !” yang dengan metode linguistik komparatif, menunjukkan bahwa beberapa leksikon dalam bahasa tamil memiliki keidentikan dengan beberapa leksikon dalam bahasa rumpun Indo-Eropa. Bahasa Tamil sendiri oleh para ahli dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Dravida.

Temuan kesamaan leksikon yang ditemukannya tersebut, mendorong Alvaro Hans mengklaim bahwa Bahasa Tamil sebagai ibu bahasa Indo-Eropa atau Proto Indo-Eropa (PIE), yang merupakan objek pencarian para ahli bahasa dalam beberapa puluh tahun terakhir.

Salah satu kosakata yang disebut Alvaro Hans sebagai asli dari tamil adalah kata “food” (“makanan” dalam bahasa Inggris) yang disebutnya berasal dari bahasa tamil “vootu” yang artinya “makanan”. bentuk lainnya adalah “Voota” dalam bahasa Kannada (cabang bahasa Tamil) juga berarti “makanan”.

dokpri

Yang menarik, karena sebenarnya, kata “food” (Inggris), ataupun “vootu” (Tamil) identik pula dengan kata “pudu’” dalam Bahasa Tae‘ yang artinya “mulut”. Dalam hal ini dapat diduga bahwa telah terjadi morfologi bahasa (perubahan fonetis dan pergeseran makna) dari pudu’ yang berarti “mulut,” menjadi food dan vootu yang berarti “makanan”. 

Untuk menentukan mana yang lebih dahulu, logikanya sederhana. Dapat diperkirakan, kata food dan vootu muncul untuk menyebut apa yang dimasukkan ke dalam pudu’ (mulut). Jadi jelas kata pudu’ yang lebih kuno.

Ada pun kata mulut dalam bahasa Indonesia sebenarnya juga berasal dari kata pudu’. Dengan menggunakan metode pengamatan altikulatoris (telah saya jelaskan dalam tulisan: Formula Kunci Mengurai Sejarah) dapat terlihat jika antara kata pudu’ dan mulut telah terjadi perubahan fonetis; antara, p dan m (labial) – d dan l (dental. l fonetis yang Approximant ke dental).

Ada pun tanda petik di akhir kata pudu’ berubah menjadi t. Beberapa contoh kata dalam bahasa tae yang ketika terserap ke dalam bahasa Indonesia mengalami hal ini, adalah: lipu’ menjadi liput ; lili’ menjadi lilit ; kunyi’ menjadi kunyit, dll.

Menelusuri Jejak Bahasa Adam di Austronesia [part 3]

“Hal yang penting dalam sains bukanlah menemukan fakta sebanyak-banyaknya, tetapi menemukan cara pandang baru terhadap fakta-fakta tersebut” – Sir William Bragg (1862-1942)

Rumpun bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 1.200 bahasa, mewakili seperlima dari total dunia. Diperkirakan ada  sekitar 386 juta orang (4,9% dari populasi dunia ) penuturnya saat ini.  

Tersebar di wilayah yang sangat luas mulai dari Madagaskar di barat hingga Pulau Timur di timur, dan dari Hawaii di utara hingga Selandia Baru di selatan, termasuk semenanjung malaya, kepulauan Asia Tenggara, sebagian besar pulau di bagian tengah dan Pasifik Selatan, serta Taiwan. 

Istilah Austronesia sendiri dimunculkan oleh Wilhelm Schmidt . Kata ini berasal dari bahasa Jerman austronesisch , yang didasarkan dari kata Latin “austro” (selatan), dan kata Yunani “nisos” (pulau).

Sejak abad ke 17 hingga hari ini, telah banyak ahli bahasa dunia yang terjun dalam penelitian rumpun bahasa Austronesia.

Pada 1706, sarjana Belanda Adriaan Reland pertama kali mengamati kesamaan antara bahasa yang digunakan di Kepulauan Melayu dan oleh orang-orang di pulau-pulau di Samudra Pasifik. Pengamatan tersebut menggunakan daftar kata yang dikumpulkan pada awal 1616 oleh rekan-rekan Reland, penjelajah Jacob Le Maire dan Willem Schouten. (Asya Pereltsvaig.  2012: 143)

William Marsden (1754-1836), seorang orientalis Inggris, ahli bahasa, numismatist, dan pelopor dalam studi ilmiah Indonesia, dalam bukunya On the Polynesian or East Insular Languages mengemukakan keserumpunan antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia. 

John Crawfurd (1783-1868) seorang dokter Skotlandia, administrator, diplomat kolonial, dan penulis, terkenal karena karyanya pada bahasa Asia, Sejarah Kepulauan India, dan perannya dalam mendirikan Singapura sebagai Residen Inggris terakhir di Singapura.

Pada tahun 1808 Crawfurd dikirim ke Penang, di mana ia menerapkan dirinya untuk mempelajari bahasa dan budaya Melayu. Di Penang ia bertemu Stamford Raffles untuk pertama kalinya. 

Pada November 1811, Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Letnan Jawa, sementara Crawfurd diangkat menjabat Residen Gubernur di Pengadilan Yogyakarta. Sebagai Residen, Crawfurd juga mengejar studi tentang bahasa Jawa, dan membina hubungan pribadi dengan bangsawan Jawa dan sastrawan. Dia terkesan dengan musik Jawa. (Bennett Zon. 2007: 31)

Pada tahun 1848 dalam bukunya On the Malayan and Polynesian Languages and Races, John Crawfurd membantah pendapat Marsden yang mengemukakan keserumpunan antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia – John Crawfurd menyatakan bahwa bahasa-bahasa itu tidak menunjukkan kesamaan.

Hubungan Bahasa Tae’, Tamil, dan Rumpun Indo-Eropa

Dalam satu dekade terakhir ini, internet dan terutama fasilitas penerjemahan online, telah berperan besar mengungkap sisi gelap sejarah bahasa yang selama ini menjadi ranah “kajian spekulasi” para ahli bahasa, sejarawan maupun antropolog dalam mengarahkan bentuk skenario historiografi dunia.

Fenomena ini dapat kita amati pada metode pengelompokan bahasa semisal rumpun bahasa Austronesia dan Indo-Eropa, yang kemudian dalam temuan beberapa waktu belakangan ini, melalui metode linguistik komparatif, rupa-rupanya menunjukkan adanya banyak kesamaan leksikon. 

Seperti yang ditunjukkan oleh Alvaro Hans (2017) dalam bukunya “Proto-Indo-European Language: FACE UNVEILED !” yang dengan metode linguistik komparatif, menunjukkan bahwa beberapa leksikon dalam bahasa tamil memiliki keidentikan dengan beberapa leksikon dalam bahasa rumpun Indo-Eropa. Bahasa Tamil sendiri oleh para ahli dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Dravida.

Temuan kesamaan leksikon yang ditemukannya tersebut, mendorong Alvaro Hans mengklaim bahwa Bahasa Tamil sebagai ibu bahasa Indo-Eropa atau Proto Indo-Eropa (PIE), yang merupakan objek pencarian para ahli bahasa dalam beberapa puluh tahun terakhir.

Salah satu kosakata yang disebut Alvaro Hans sebagai asli dari tamil adalah kata “food” (“makanan” dalam bahasa Inggris) yang disebutnya berasal dari bahasa tamil “vootu” yang artinya “makanan”. bentuk lainnya adalah “Voota” dalam bahasa Kannada (cabang bahasa Tamil) juga berarti “makanan”.

dokpri

Yang menarik, karena sebenarnya, kata “food” (Inggris), ataupun “vootu” (Tamil) identik pula dengan kata “pudu’” dalam Bahasa Tae‘ yang artinya “mulut”. Dalam hal ini dapat diduga bahwa telah terjadi morfologi bahasa (perubahan fonetis dan pergeseran makna) dari pudu’ yang berarti “mulut,” menjadi food dan vootu yang berarti “makanan”. 

Untuk menentukan mana yang lebih dahulu, logikanya sederhana. Dapat diperkirakan, kata food dan vootu muncul untuk menyebut apa yang dimasukkan ke dalam pudu’ (mulut). Jadi jelas kata pudu’ yang lebih kuno.

Ada pun kata mulut dalam bahasa Indonesia sebenarnya juga berasal dari kata pudu’. Dengan menggunakan metode pengamatan altikulatoris (telah saya jelaskan dalam tulisan: Formula Kunci Mengurai Sejarah) dapat terlihat jika antara kata pudu’ dan mulut telah terjadi perubahan fonetis; antara, p dan m (labial) – d dan l (dental. l fonetis yang Approximant ke dental).

Ada pun tanda petik di akhir kata pudu’ berubah menjadi t. Beberapa contoh kata dalam bahasa tae yang ketika terserap ke dalam bahasa Indonesia mengalami hal ini, adalah: lipu’ menjadi liput ; lili’ menjadi lilit ; kunyi’ menjadi kunyit, dll.

Hubungan antara kata dalam bahasa Tae’, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris dapat pula kita temukan pada kata ‘Land’.

Kata land yang dalam bahasa Inggris berarti berarti “tanah, tanah air, atau negeri,” Juga identik dengan kata Eelam atau Ilam (yang digunakan pada nama Eelam Tamil yang artinya negeri Tamil). Penyebutan Ilam dengan arti tanah, dapat pula dijumpai dalam bahasa tae’ di Luwu, digunakan pada nama desa Ilam batu di Kecamatan Walenrang Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Oleh orang-orang di masa sekarang nama ilam batu biasanya disebut Ilan batu untuk mengarahkan maknanya menjadi “di dalam batu“. Hal ini mungkin dikarenakan di desa Ilan Batu terdapat goa prasejarah, yang di dalamnya sangat banyak ditemukan tengkorak manusia dan perkakas kuno.

Demikianlah, sejauh penelusuran saya, bahkan ada beberapa leksikon dalam bahasa tae’ yang menunjukkan keidentikan dengan bahasa Yunani kuno tapi tidak ditemukan dalam bahasa Tamil. Hal ini telah saya bahas dalam tulisan: Menelusuri Jejak Kuno Aksara di Nusantara.

Makna Sesungguhnya dari Nama “Sailendra”

Pada umumnya para ahli sepakat bahwa nama Sailendra berasal dari bahasa Sanskerta, yakni gabungan kata Saila= gunung, dan Indra=raja, yang berarti “Raja Gunung”. Inilah yang mendasari pendapat G. Coedes yang menganggap bahwa dinasti Sailendra berasal dari Fu-nan (Kamboja). Karena menurutnya Raja-raja Fu-nan disebut parwatabhupala yang berarti “raja gunung”, sama dengan kata Sailendra

Tetapi beberapa Ahli sejarah Kamboja telah mengabaikan ini. Mereka berpendapat bahwa tidak ada bukti historis untuk gelar-gelar semacam itu pada periode Funan. (Jacques 1979; Vickery Michael. Funan Reviewed : Deconstructing the Ancients. In: BEFEO, 2003. pp. 101-143)

Prasasti-prasasti yang dibuat wangsa Sailendra menggunakan tiga bahasa: Melayu kuno, Jawa Kuno, dan Sanskerta. 

Tapi Prasasti Sojomerto (ditemukan di Kabupaten Batang , Jawa Tengah. Diperkirakan berasal dari akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi) yang pertama kali menyebutkan nama “Dapunta Selendra“, menggunakan bahasa Melayu kuno.

Sementara itu, prasasti dengan penanggalan paling awal di Indonesia, di mana jelas disebutkan nama “dinasti Sailendra” sebagai Sailendravamsatilaka muncul pada prasasti Kalasan (diperkirakan berasal dari tahun 778 M, menggunakan bahasa Sanskerta). 

Jadi, jika di dalam Prasasti Sojomerto hanya menyebutkan “Dapunta Selendra“, maka dalam prasasti kalasan telah dengan jelas menyebutkan Sailendra sebagai suatu wangsa, dinasti, atau keluarga.

Sebutan “dapunta” dalam prasasti Sojomerto kemudian oleh para ahli dikaitkan dengan nama Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang ada disebutkan dalam prasasti kedukan bukit (prasasti ini ditemukan di Sumatera selatan, dan Dapunta Hyang Sri Jayanasa oleh para dianggap sebagai pendiri kerajaan Sriwijaya).

Suatu hal yang luput dari pencermatan para ahli sejarah terkait historiografi Asia tenggara adalah pencermatan isi prasasti (terutama yang selama ini disebut menggunakan bahasa melayu kuno) dalam perspektif Bahasa Tae’ yang umum digunakan di Sulawesi selatan khususnya di Luwu dan Toraja.

Berikut ini tinjauan sebutan “dapunta” dan “sailendra” menurut perspektif Bahasa Tae’.

Arti “Dapunta Sailendra” dalam perspektif Bahasa Tae’

Bentuk kata “dapunta” besar kemungkinan terdiri dari: da (bentuk predikat, seperti dethe, atau la); dan, punta atau bunta‘ yang dalam Bahasa Tae’ artinya “mustika.”

Salah satu daerah di Tana Luwu yang masih menggunakan kata ini adalah: Baebunta di Luwu utara yang artinya “mustika air” (bae=air, bunta=mustika). Jadi arti Dapunta Sailendra dalam Bahasa Tae’ adalah: mustika sailendra. 

Dapunta Sailendra yang dalam Bahasa Tae’ artinya “Mustika Sailendra” rupa-rupanya persis sama dengan yang diperlihatkan dalam prasasti Kalasan (prasasti berbahasa Sanskerta) yang menuliskan “Sailendravamsatilaka” yang juga artinya “Mustika keluarga Sailendra”.

Jadi, dalam prasasti yang berbahasa melayu kuno (seperti prasasti Sojomerto) kata “mustika” tertulis sebagai “punta”, sementara dalam prasasti yang berbahasa Sanskerta (seperti prasasti Kalasan) kata “mustika” tertulis sebagai “tilaka”.