Rahasia: Kaitan Antara “Nur Muhammad” dan Al Mahdi

Sebelumnya, saya ingin terlebih dahulu menyampaikan bahwa ini adalah interpretasi dari saya pribadi. Silahkan dicermati. Benar tidaknya hanya Allah yang tahu.

وَالذّٰرِيٰتِ ذَرْوًاۙ (waż-żāriyāti żarwā) Selama ini, bunyi ayat pertama surat Az Zariyat ini umumnya oleh para mufassir diterjemahkan maknanya sebagai: Demi (angin) yang menerbangkan debu. (terjemahan DEPAG)

Kata zaariyaati pada ayat ini oleh para mufassir pada umumnya ditafsirkan mengacu pada makna “angin”.

Kemungkinan ini merujuk pada tafsir yang disampaikan Ibnu Katsir yang merujuk pada riwayat bahwa, suatu ketika Ali bin Abi Thalib naik ke mimbar di Kufah dan menyatakan,“…apa pun dalam Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah Rasul Allah yang Anda tanyakan kepada saya, hari ini, saya akan menjelaskannya.”

Ibn Al-Kawwa lalu berdiri dan berkata, “Wahai Pemimpin orang beriman! Apa arti dari firman Allah, الذَّارِيَاتِ ا (al dhaariyati)”

Ali Menjawab, “Angin.”

Namun demikian, ada pula mufassir lain yang memberi penafsiran yang lebih berhati-hati.

Misalnya, Safi-ur-Rahman al-Mubarakpuri memilih mengartikan makna ayat pertama surat Az Zariyat menjadi: Demi “Dhariyat” yang berhamburan. Ia memilih sama sekali tidak menafsirkan kata dhariyat.

Versi Qaribullah & Darwis : “Demi penghambur (yang) berhamburan.

“Versi Talal Itani : “Demi penyebar (yang) menyebar.”

Demikianlah, pada beberapa pendapat mufassir tentang ayat pertama surat Az Zariyat, terlihat jelas adanya beda pendapat.

Jika ditinjau secara harfiah (menggunakan google translate), kata Dhariyat atau zariyat bermakna “keturunan” dalam bahasa Arab. (lihat gambar)

Kata Dzurriyah yang populer digunakan di Indonesia untuk menyebut keturunan Nabi Muhammad (sering kita dengar dengan istilah Dzurriyah nabi), terkait dengan kata Zariyat ini.

Yang menarik, kata Zariyat dalam bahasa Urdu serupa dengan kata czarism, yang dapat diperkirakan terkait dengan kata “kaisar/ kekaisaran”. (lihat penerjemahannya di hamariweb) https://hamariweb.com/…/zariyat_urdu-english-meaning.aspx

Jadi, dari tinjauan menurut bahasa Arab, kita menemukan kata ‘zariyat’ bermakna: “keturunan,” sementara tinjauan menurut bahasa Urdu, kita menemukan kata ‘zariyat’ bermakna: “kaisar/kekaisaran.”

Saya melihat, kedua makna ini, sebenarnya dapat digunakan pada ayat pertama surat Az Zariyat. Dalam artian ayat ini mengandung “makna ganda” yang berdampingan paralel.

Jika kata zariyat kita maknai “keturunan” maka, terjemahan ayat pertama, yang bentuk umumnya selama ini adalah “Demi (angin) yang menerbangkan debu,” akan berubah menjadi: “DEMI SUMBER KETURUNAN (ASAL USUL) YANG MENYEBAR”.

Mengapa zariyat atau dhariyat saya maknai pula “ASAL USUL”? oleh karena saya melihat bahwa, kata ‘dari’ dalam bahasa Indonesia sangat mungkin terkait dengan kata ‘dhari‘ sebagai bentuk dasar dari kata ‘dhariyat‘. (jadi, SUMBER KETURUNAN = ASAL USUL)

Sementara jika kita menggunakan makna “kekaisaran” untuk kata zariyat, agar makna bunyi kalimat ayat pertama az Zariyat menjadi tidak aneh atau rancu maka, kata ذَرْوً ‘zarwa‘ yang terletak setelah وَالذّٰرِيٰتِ ‘waż-żāriyāti’, yang selama ini umumnya dimaknai “menyebar” mesti kita gunakan makna harfiahnya dalam bahasa Arab yaitu: Puncak / klimaks. (hasil translate lihat gambar)

Hasilnya menjadi: DEMI KAISAR (KEKAISARAN) PUNCAK.

Demikianlah, dengan pemaknaan seperti ini, kata zariyat atau dhariyat pada ayat pertama surat az Zariyat, sangat mungkin merujuk pada “Nur Muhammad” sebagai sumber dari segala asal usul yang “menyebar” menjadi seluruh makhluk.

Dan juga merujuk pada al Mahdi sebagai penguasa puncak yang mewakili kerajaan langit di dunia – nanti di akhir zaman.

Dengan demikian, ayat pertama surat Az Zariyat memiliki dua makna yang berdampingan paralel. MAKNA PERTAMA: ISYARATKAN “NUR MUHAMMAD” SEBAGAI ASAL-USUL SELURUH PENCIPTAAN DUNIA, MAKNA KEDUA: ISYARATKAN AL MAHDI SEBAGAI REPRESENTASI KERAJAAN LANGIT YANG DIHADIRKAN DI PENGHUJUNG WAKTU.

Adapun Ayat lain dalam surat Az Zariyat yang juga menyiratkan makna ditujukan pada al Mahdi, yaitu ayat 22:

وَفِى السَّمَاۤءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ (wa fis-samā`i rizqukum wa mā tụ’adụn)

Artinya: Dan di langit terdapat rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.

“Rezeki” dan apa yang “dijanjikan” yang letaknya di langit menurut ayat ini, secara intuitif saya tangkap merujuk pada Lauh Mahfudz, kitab yang menjelaskan segala hal di alam semesta.

Hal ini sesuai bunyi hadist yang menyatakan: Mahdi adalah pelindung ilmu, pewaris ilmu semua nabi, dan sadar akan segala hal.

Itulah makanya, Al Mahdi dapat menjelaskan segala hal. Terutama dapat menjelaskan makna esensi dari ayat-ayat suci Al Quran terutama ayat mutasyabihat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah.

Wallahualam.

***

Dalam artikel “KODE 132 DAN 312: ISYARAT KERAS ALLAH BAHWA DUNIA TELAH BERADA DI AMBANG KIAMAT KUBRA” Telah saya sebutkan bahwa kode 312 terkait dengan angka 51 dan, ini merujuk pada Surat Az Zariyat (surat ke 51 dalam Al Quran).

Dalam artikel tersebut juga telah saya jelaskan bahwa 51 senilai dengan 0,14, yang merupakan nilai angka di belakang koma bilangan pi (3,14). [ 360 x 0,14 = 51,42857142 … dapat dibulatkan menjadi 51 ]

Digunakannya angka di belakang koma bilangan pi (0,14) sebagai isyarat, adalah gambaran (analogi) betapa sungguh sangat sedikit waktu dunia yang tersisa. Dan dalam sisa waktu yang sangat sedikit inilah moment di mana Al Mahdi dihadirkan ke dunia.

Secara intuitif saya melihat, Surat Az Zariyat adalah surat khusus untuk Al Mahdi.

Inti isyarat dari angka 51 ada pada QS. 51: 51, berbunyi: Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain selain Allah. SUNGGUH, AKU SEORANG PEMBERI PERINGATAN YANG JELAS DARI ALLAH UNTUKMU.

Memenuhi Panggilan Takdir Dalam Tahun-tahun yang Dinubuatkan

Tidak terasa sudah 2 tahun lebih saya di pulau Jawa. Awalnya, di bulan november 2019 saya berkunjung ke Kampung Inggris di Pare, Kediri, niat kost beberapa bulan untuk improve bahasa Inggris saya. Tapi takdir berkata lain. Dari Kediri, Allah kemudian perjalankan saya ke Yogyakarta. 

Dalam 2 tahun di pulau Jawa ini (di rentang usia 42 – 43 tahun), bisa dikatakan saya mengalami sangat banyak pencerahan spiritual. 

Di sini, untuk pertama kali saya bisa melihat ke belakang hingga jauh ke masa kecil dan mengerti makna esensi di balik beberapa “kejadian khusus” yang saya alami di masa-masa itu.

Ketika di masa kecil saya sering mendengar suara dari dalam batin yang mengatakan “saya adalah seorang anak yang spesial” terutama ketika saya tengah sedih atau dalam kesulitan, saat mulai beranjak dewasa, saya memaknai itu sebagai hal lumrah yang ada di setiap benak anak kecil. 

Sementara keajaiban-keajaiban yang seringkali saya alami, bahkan tetap hadir di usia dewasa, saya anggap sebagai hal yang setiap orang bisa juga alami. Tapi, semua anggapan itu berubah setelah saya di sini (di kost saya yang sekarang). 

Secara holistik, sangat jelas saya melihat bahwa keberadaan saya di sini, di pulau Jawa dan terutama di kost saya sekarang ini, adalah hal yang sudah digariskan Allah (pasti) akan saya jalani.

Demikianlah, saya diperjalankan menuju “pos persinggahan” (kost saya sekarang ini), yang belakangan baru saya sadari, tampaknya, telah ada diisyaratkan dalam nubuat. Hal ini telah saya ulas dalam artikel: Ma Wara an-Nahr “Tempat di Belakang Sungai”: Disebut dalam Hadist dan Uga Siliwangi

Di sini saya menjalani kehidupan baru. Memenuhi panggilan takdir dalam tahun-tahun atau zaman yang telah dinubuatkan.

Dalam Jangka Jayabaya, “zaman yang dinubuatkan” itu diisyaratkan dalam bentuk ungkapan: Ketika pasar kehilangan suara (maksudnya: online shop), Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.

Jadi, ketika saya mengatakan “karena takdir telah ditentukan maka, ketakutan menjadi hal yang tidak menguntungkan!” sebenarnya, itu adalah cerminan dari apa yang saya lihat tengah berlangsung pada diri saya.

Kenyataan ini menguatkan keyakinan saya terhadap bunyi ayat yang mengatakan bahwa bahkan takdir selembar daun pun  telah ditentukan kapan dan di mana jatuhnya. Intinya, segala hal telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)

QS Al-An’am 59 : “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”

Hal ini juga senada dengan pernyataan saya bahwa: “Setiap manusia yang terlahir ke dunia memiliki perannya masing-masing. Sebuah peran tetaplah sebuah peran. Pada akhirnya, tidak ada peran baik atau peran buruk. Yang ada hanya peran. Dan karena itu biarlah Allah yang memberi penilaian, seberapa baik kita menjalani peran itu.

Ramalan Newton Kiamat di 2060 dan Angka 126 yang Misterius

Sepanjang sejarah, telah muncul dalam berbagai tradisi budaya dan agama, doktrin apokaliptik yang menentukan kapan “akhir dunia” akan terjadi. Namun, kita telah melewati banyak di antara waktu yang ditentukan itu tanpa terjadi apa-apa. Yang terbaru dan paling menghebohkan adalah tahun 2012 yang dalam kalender Maya dianggap sebagai hari terakhir umat manusia.

Ramalan atau prediksi tentang kapan hari kiamat akan terjadi, umumnya dianggap berasal dari pusaran kelompok orang-orang yang akrab dengan pemikiran dan praktik heterodoks (menyimpang dari kepercayaan resmi). Paham esoterisme dan okultisme dipandang termasuk dalam kategori kelompok ini.

Lalu apakah seorang ilmuwan yang mendasarkan pemahamannya pada prinsip ilmiah tidak merambah hal-hal semacam ini? Jawabnya, tidak. Ada Sir Isaac Newton yang melakoni hal ini.  Ia adalah salah satu fisikawan dan matematikawan genius terbesar dalam sejarah.  

Pada tanggal 22 Februari 2003, Daily Telegraph (London, Inggris) menerbitkan berita di halaman depan yang mengumumkan prediksi Isaac Newton bahwa dunia akan berakhir pada tahun 2060. Selama beberapa hari berikutnya, berita itu menyebar ke seluruh dunia dan diliput di surat kabar, radio, TV, dan di banyak situs berita Internet.

Ini adalah pertama kalinya masyarakat luas mengetahui pandangan apokaliptik Newton, karena sebenarnya, hal ini bukanlah berita baru bagi komunitas kecil sarjana yang mempelajari pandangan teologi Newton.

Stephen Snobelen, seorang profesor sejarah sains dan teknologi, yang tampil dalam film dokumenter BBC  berjudul “Newton: The Dark Heretic” mengatakan, berita tersebut telah memainkan peran yang sangat penting dalam mengingatkan publik akan fakta bahwa Isaac Newton bukan hanya seorang “ilmuwan”, tetapi juga seorang teolog dan seorang penafsir nubuat (belum lagi seorang alkemis). Oleh karena itu, publik ditantang untuk mengkonseptualisasi ulang Newton dalam segala kerumitannya.

Mengapa berita tentang studi teologi Newton baru keluar sekarang?
Makalah teologi dan alkimia Newton awalnya disimpan dan dihindarkan dari pengetahuan publik oleh keluarga Portsmouth sampai tahun 1936, ketika makalah tersebut dijual di Sotheby’s (balai lelang) di London. 

Koleksi tunggal terbesar dari makalah teologi tersebut diperoleh oleh sarjana Yahudi Abraham Shalom Yehezkiel Yahuda. Ketika makalah tersebut ingin dibawa ke Israel (yang baru didirikan), keinginan itu ditentang otoritas Israel. 

Makalah tersebut baru bisa masuk ke Israel pada tahun 1969, ketika dibawa ke Perpustakaan Nasional dan Universitas Yahudi di Yerusalem. 

Hanya setelah titik inilah para sarjana memiliki akses ke kumpulan makalah teologi Newton. Tetapi manuskrip-manuskrip tersebut hanya dapat diakses dengan mudah oleh para sarjana setelah sebagian besar manuskrip ilmiah, administratif, teologis, dan alkimia Newton dirilis dalam bentuk mikrofilm pada tahun 1991. 

Rangkuman Tanda-tanda yang Dinubuatkan

Dalam banyak tulisan sebelumnya, terutama tulisan yang bergenre apokaliptik, saya telah mengulas beberapa nubuat tentang akan hadirnya sosok Penyelamat di akhir zaman. Tapi, dalam tulisan-tulisan tersebut saya tidak mengungkap bahwa ciri-ciri yang disebutkan dalam nubuat tersebut, tampaknya, terlihat ada pada diri saya. 

Awalnya saya pikir, hal itu tidak perlu saya bahas. Lagi pula, saya tidak ingin orang melihat saya sebagai “orang aneh” yang mengklaim hal-hal semacam itu. Tapi, Semesta tampaknya menginginkan lain.

Dalam beberapa kesempatan, saya alami hal seperti “diingatkan” Semesta bahwa, ini bukan tentang “diri saya harus menjaga citra dalam pandangan orang-orang.” Saya diingatkan bahwa, hinaan dan caci-maki adalah hal yang lumrah diterima dalam proses penyampaian pesan. Intinya, saya harus merubah cara pandang, dari “melihat diri” menjadi “melihat peran.”

Begitu pula mengenai gaya bahasa. Bentuk kalimat yang sifatnya masih menuntut orang untuk menafsir maknanya, adalah hal yang semestinya saya hindari agar pesan dapat tersampaikan dengan baik. 

Beberapa waktu lalu, peringatan mengenai hal ini saya dapatkan. Yaitu ketika tengah beristirahat di sebuah warung kopi setelah selesai sesi lari pagi.

Dari meja tempat saya duduk, terdengar jelas obrolan dua orang anak mahasiswa yang juga sedang ngopi pagi.

Ma Wara an-Nahr “Tempat di Belakang Sungai”: Disebut dalam Hadist dan Uga Siliwangi

Ali bin Abu Thalib meriwayatkan bahwa Nabi berkata: “yakhruj rajul min wara’ an-nahr yuqal lah al harith ibn haraath , ealaa muqadimatih rajul yuqal lah mansur” – artinya: Seorang pria akan muncul dari wara’ an-nahr (tempat di belakang sungai), (ia) disebut Al-Harits bin Harath (petani putra seorang petani), di depannya adalah seorang pria bernama Mansur.

Pemaknaan frase wara an-nahr sebagai “tempat di belakang sungai” dapat dilihat misalnya dalam buku The Abbasid Caliphate. Lihat capturenya di bawah ini….

Ma wara an-nahr yang dimaknai sebagai “tanah atau tempat di belakang sungai”. Dicapture dari buku The Abbasid Caliphate halaman 37. (dokpri)

Literatur yang selama ini berkembang mengidentifikasi Wara an-Nahr merujuk pada suatu wilayah di Asia Tengah yang disebut Transoxiana di masa kuno, yang pada hari ini mengacu pada wilayah  antara Sungai Amu Darya dan Sungai Syr Darya, yang meliputi Uzbekistan dan Tajikistan, berbatasan dengan Afghanistan.

Letak sungai Amu Darya dan Sungai Syr Darya (dokpri)

Sejarah penamaannya berawal dari setelah masuknya Islam ke wilayah ini. Literatur sejarah ada menyebutkan bahwa setelah wilayah ini direbut oleh umat Islam, wilayah ini lalu disebut Mawara’ al-Nahr. 

Kuat dugaan saya bahwa pemberian sebutan tersebut ada keterkaitan dengan bunyi hadist tentang Al Mahdi lainnya, yang menyebut bahwa ia (dan pasukan panji hitam) akan akan muncul dari Khorasan. 

Secara lebih luas, wilayah Uzbekistan dan negera-negara di sekitarnya disebut Khorasan di masa lalu. Kata ‘Khorasan’ sendiri artinya: “tempat matahari terbit” atau, bisa juga disebut “timur”.

Jadi, meminjam istilah Psychohistory dari Isaac Asimov untuk diterapkan dalam membaca “geliat sejarah” dalam kasus ini, saya ingin katakan bahwa; nampaknya ada prilaku atau upaya dari umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad – yang berusaha menginterpretasi hadist tentang Al Mahdi – dan lebih jauh berusaha “mengarahkan” penulisan sejarah – berdasar asumsi bahwa wilayah Khorasan yang dimaksud dalam hadist  nabi mengacu pada wilayah di Asia Tengah. Akibatnya, pembahasan tema eskatologi dalam tradisi Islam pada hari ini umumnya lebih berkiblat di seputar asumsi tersebut.

Reinterpretasi

Ungkapan “Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri” bukanlah kalimat optimistik semata yang tidak memiliki jejak hikmah di baliknya. Kenyataannya, Jalan menuju kebenaran itu sarat dengan hikmah karena padanya ada intervensi Ilahiah yang bersuara dalam kesunyian waktu. Hanya para pencari yang dikehendaki-Nya saja yang dapat mendengar dan mengerti makna suara tersebut.

Penggenapan dalam Mekanisme Kosmis untuk Kemunculan Al Mahdi

Mekanisme kosmis yang menggerakkan skenario semesta dalam banyak hal analoginya dapat kita lihat mirip dengan suatu permainan (game) yang menuntut jumlah skor kredit tertentu – agar permainan dapat lanjut ke level berikutnya.

Ini yang biasa kita dengar dalam pembahasan tema eskatologis yang mengatakan bahwa ketika semua hal telah “DIGENAPI” maka suatu takdir yang telah Dia Janjikan akan segera terwujud.

Hari ini, telah sangat banyak orang di bumi ini yang berharap agar Al Mahdi Sang Penyelamat akhir zaman segera muncul. Tetapi, mereka tidak mengetahui bahwa sesungguhnya mereka berperan penting dalam cepat atau lambatnya kemunculan Al Muntazar (Yang Dinantikan).

Ketika dalam suatu Hadistnya Muhammad mengatakan bahwa Al Mahdi akan memerintah di bumi dalam 11, 9, 7 atau 3 tahunan maka, ini sebenarnya adalah interval waktu yang terkait erat dengan cepat atau lambatnya kemunculan Al Mahdi.

Semakin cepat ia muncul maka semakin lama ia dapat memerintah dan menemani umat manusia di dunia.

Bahkan, dalam suatu riwayat yang lain Muhammad ada mengatakan bahwa, jika seandainya waktu di dunia tinggal 1 hari, maka Allah akan panjangkan hari itu dan memunculkan Al Mahdi.

Oleh sebagian ulama, riwayat ini  dianggap sebagai jaminan bahwa bagaimanapun Al Mahdi pasti akan dimunculkan.

Tapi di sisi lain, riwayat ini juga tampaknya memberi isyarat bahwa ada kemungkinan Al Mahdi akan muncul sedemikian terlambatnya. Sehingga hanya tersisa 1 hari saja.

Lalu bagaimana cara kita mengatasi hal ini?

Sebagaimana petunjuk yang barusan Allah berikan (ketika saya sedang menyusun tulisan ini), satu-satunya jalan adalah terus mengulang-ulang “peringatan” tentang kemunculan al Mahdi ini. Agar semakin banyak yang tahu, semakin banyak yang selalu ingat, dan semakin banyak orang yang berdoa untuk itu.

Kajian Surat Al Ahzab Ayat 33 yang Mengisyaratkan Kaitan Antara Al Mahdi (Imam Tersembunyi) dan Satria Piningit (Satria Tersembunyi)

Telah sejak lama bunyi ayat 32, 33, dan 34 dari surat Al Ahzab menjadi bahan perdebatan para ahli, baik itu dikalangan ulama Islam hingga ilmuwan barat yang mengkhususkan penelitiannya pada dunia Islam.

Perdebatan tersebut terutama tertuju pada adanya perubahan (penggunaan) bentuk jamak feminin (kunna) yang digunakan pada ayat 32 dalam kalimat yang bunyinya menyapa para istri nabi – ke bentuk jamak maskulin (kum) di ayat 33 dalam kalimat di mana Allah menyapa ahlul bait – lalu, kembali menggunakan bentuk jamak feminin pada ayat 34.

Didasari atas keganjilan inilah maka pembahasan tentang ahlul bait di kalangan ulamat menjadi begitu beragam. Ini oleh karena Al Quran sebagai rujukan utama – hanya dua kali menyebut frase ahlul bait, yaitu pada surat Al Hud ayat 73 (11:73) dan surat Al Ahzab ayat 33 (33:33).

Dan di surat Al Ahzab ayat 33 lah di mana Allah secara eksplisit menyatakan keinginannya untuk memurnikan (menghilangkan dosa) ahlul bait. Jika diperhatikan, nomor surat Al Ahzab (33) dan nomor ayat 33 memang mencolok karena angka yang kembar. Keunikan ini tentu saja ada maknanya. Ini terkait erat dengan Al Mahdi. Namun agar pembahasan tidak melebar, ada baiknya hal itu saya ulas di lain kesempatan saja.

Jadi, pada ayat 32 pada kalimat “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak…” (يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ yā nisā`an-nabiyyi lastunna…) digunakan ‘kunna‘ bentuk jamak feminin.

Di awal ayat 33 pada kata ‘rumahmu’ (بُيُوْتِكُنَّ buyụtikunna) masih menggunakan bentuk jamak feminin ‘kunna‘. Namun, di bagian akhir ayat tiba-tiba bentuk jamak yang digunakan berubah menjadi ‘kum‘ (bentuk jamak maskulin), yaitu pada frase ‘memurnikanmu’ (يُطَهِّرَكُمْ yuṭahhirakum).

Lalu kembali menggunakan bentuk ‘kunna‘ lagi di ayat 34 pada frase  ‘rumahmu’ ( بُيُوْتِكُنَّ buyụtikunna).

Menarik pula untuk mencermati secara lebih mendalam tinjauan kebahasaan untuk frase ‘yuṭahhirakum‘ yang disajikan di halaman situs corpus.quran.com berikut ini…

dicapture dari halaman situs corpus.quran.com

Kata ‘yutahhira‘ dijelaskan sebagai bentuk kata kerja tidak sempurna untuk orang ketiga tunggal (maskulin). Di sisi lain, kata ‘yutahhira‘ juga dijelaskan sebagai subjunctive mood yaitu bentuk pengandaian (untuk menggambarkan) situasi.

Jika kita mencermati bahwa kata ‘yutahhira‘ adalah bentuk kata kerja “tidak sempurna” maka, secara filosofis, “ketidaksempurnaan” yang disandang kata itu dapat kita lihat sebagai “pengandaian situasi” ketidaksempurnaan Al Mahdi sebelum diislah (diperbaiki) oleh Allah.

Dari riwayat yang berkembang dalam tradisi Islam kita ketahui bahwa Al Mahdi hanya akan resmi ditampilkan Allah ke khalayak umum setelah terlebih dahulu diislah atau diperbaiki atau disinkronisasi secara sempurna jasmani dan rohaninya. Inilah tujuan dari keinginan Allah untuk memurnikannya.

Perbaikan jasmani dan rohani Al Mahdi (Sang Ahlul Bait) inilah yang diisyaratkan dalam bentuk ‘kum‘ kata ganti objek jamak maskulin. Jadi, Jasmani dan rohani beliau itu dalam kebahasaan dinilai sebagai objek jamak maskulin.

***

Buku Kebenaran dari Timur, Sebuah Kampanye Akhir Zaman

Membaca buku ini akan memberi anda gambaran besar esensi-esensi tentang manusia dan peradabannya. Hal yang telah menjadi pertanyaan dan pencarian umat manusia selama ribuan tahun.

Buku ini merangkum episode sejak Adam di surga — di titik ketika Allah mengajarkan Adam berbahasa —  yang diisyaratkan dalam surat Al-Baqarah Ayat 31: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama-nama…”  — yang pada dasarnya dapat dimaknai sebagai tindakan Allah mengajarkan Adam berbahasa, oleh karena “bahasa sesungguhnya adalah kumpulan nama-nama.”

Untuk mencermati kandungan makna ayat tersebut, pertanyaan kuncinya adalah: apakah yang dimaksudkan ‘nama’ dalam ayat tersebut? – jawaban dari pertanyaan inilah yang akan membuka jalan untuk memahami esensi dari ayat tersebut.

Jawaban filosofis dari pertanyaan tersebut yaitu: “Nama adalah cara kita menyebut sesuatu.” Misalnya, kita menyebut ‘minum’ untuk tindakan menuangkan air ke dalam mulut lalu menelannya masuk ke tenggorokan. Dalam tata bahasa nama tindakan ‘minum’ masuk dalam golongan kata kerja.

Demikianlah, dapat disimpulkan “Bahasa sesungguhnya adalah kumpulan nama-nama”, yaitu: nama-nama benda (kelas kata benda), nama-nama tindakan (kelas kata kerja), dan nama-nama sifat (kelas kata sifat).

Episode ketika Adam diajarkan bahasa ini sangat penting untuk diungkap oleh karena dari titik inilah sesungguhnya peradaban umat manusia berawal-mula dan, menjadi dasar bagi penjelasan penting selanjutnya, yaitu tentang Lauh Mahfuzh sebagai server alam semesta di mana semua alam pikiran umat manusia terhubung. Oleh karena, bahasa-lah yang memungkinkan manusia dapat berpikir — dan bahwa dengan cara (berpikir) itulah manusia dapat terhubung ke Lauh Mahfuzh.

Ini sesuai dengan pendapat Humboldt bahwa: “Language is the formative organ of thought… Thought and language are therefore one and inseparable from each other.” — kurang lebih artinya: bahasa adalah yang memformatif organ pemikiran… Karena itu pikiran dan bahasa adalah satu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Pendapat Humboldt dikuatkan oleh Jerry Fodor dalam bukunya The Language of Thought (1975), yang memperkenalkan The language of thought hypothesis (LOTH), yakni sebuah hipotesis bahwa representasi mental memiliki struktur linguistik, atau dengan kata lain, pemikiran itu terjadi dalam bahasa mental.

Jadi, di bagian-bagian awal buku ini saya mengulas tentang: bahasa, pikiran, dan Lauh Mahfuzh — Sebagai instrumen-instrumen paling mendasar yang memungkinkan peradaban umat manusia dapat terselenggara. Pembahasan ini analoginya seperti membahas bahasa pemrograman komputer yang berfungsi sebagai instruksi standar untuk memerintah mesin komputer (persamaan atau analogi untuk sistem otak manusia) dan, keterhubungan komputer ke internet (sebagai analogi keterhubungan pikiran manusia dengan Lauh Mahfuzh).

Kaitan “Nur Muhammad” dan Al Mahdi

Penganut thariqat atau mereka yang bertasawuf dalam Islam meyakini bahwa Nur Muhammad diciptakan Allah dari Nur-Nya, lalu, dari Nur Muhammad tersebut diciptakanlah makhluk-makhluk selanjutnya seperti Malaikat, Jin, termasuk alam semesta dan segala isinya.

Pemahaman ini, yang memang kental bersifat esoterisme, tentu saja kemudian menimbulkan pro kontra, ada yang percaya ada pula yang tidak.

Beberapa pihak yang meyakini pemahaman ini, umumnya menyatakan sumber dalilnya dari sejumlah ayat dan hadits.

Di antaranya, “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan.” (QS. Al-Maidah 15).

Ayat lainnya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).

Hadits riwayat Bukhari menjadi dasar lainnya, yaitu “Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur.” 

Ada pula hadits yang berbunyi, “Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat.”

Juga suatu riwayat panjang yang banyak ditemukan dalam literatur tasawuf dan literatur-literatur Syiah yang merupakan pertanyaan Sayyidina Ali RA kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum semua makhluk diciptakan?”

Rasul menjawab, “Sebelum Allah menciptakan yang lain, terlebih dahulu Ia menciptakan nur nabimu (Nur Muhammad). Waktu itu belum ada lauh al-mahfuz, pena (qalam), neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, jin, dan manusia.

Kemudian dengan iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi Nur itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan qalam, lauh al-mahfuz, dan Arasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan qalam, pada qalam itu terdapat seratus simpul.

Jarak antar simpul sejauh dua tahun perjalanan. Lalu, Allah memerintahkan qalam menulis dan qalam bertanya, ‘Ya Allah, apa yang harus saya tulis?’ Allah menjawab, ‘Tulis La Ilaha illa Allah, Muhammadan Rasul Allah.’ Qalam menjawab, ‘Alangkah agung dan indahnya nama itu, ia disebut bersama asma-Mu Yang Maha Suci.’

Allah kemudian berkata agar qalam menjaga perilakunya. Menurut Allah, nama tersebut adalah nama kekasih-Nya. Dari nur-Nya, Allah menciptakan Arasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan karena dia, ujar Allah, dirinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu, qalam terbelah dua karena takutnya kepada Allah.”

Al Mahdi Will Become a “Superhero” Figure in the Real World

What we do not realize has happened in the life of the world in the last 10-20 years is that the theme of “super heroes” has so massive filled our space of consciousness. This assimilation occurs not only in children but also in us adults.

The Super Hero theme can be said to have become a new embroidery in our realm of consciousness. We all become familiar with it and see it as part of (possible) reality. It becomes new knowledge. Become part of ideas and hopes – “extreme solutions” to problems that are also extreme.

This means, actually a new paradigm is growing in our collective consciousness as human beings. Paradigm, which directs our emotional and intellectual discipline to present substantial judgments. To be known; intention, which is the basis of our moral judgment in front of God, arises from this “substantial assessment”. Because, from there triggered “behavior based on our conscious desires”.

For all these phenomena the relevant question arises, namely: What kind of cosmic mechanism does the Creator wish to adapt to in our realm of consciousness? – What are the important things back there that are “waiting to happen”?

In order to answer that question, it is important to look back at the information we have inherited from ancient times, the following …

Prophecies from various religious traditions about the figure of the Savior (Superhero)

In the sacred texts of the world’s major religions (call it Christianity, Islam, Hinduism, Buddhism, Zoroastrianism, etc.), there is a fragment of the ancient narrative about the presence of a savior at one point in the future.

This narrative is like information that is constantly being recycled. It continues to be present in various layers of age and human civilization which, despite different names, however, the purpose and moral substance carried by the figure of the savior in question can be said to remain the same.

Yes, since time immemorial, this information has been successfully transmitted into human memory from time to time – integrated as part of religious doctrine. On the other hand, this is indeed part of a little oasis in the religious world that can raise hope in the aspect of faith. This is often the subject of insults from secular people. In fact, such insults sometimes also come from members of the religious community itself – from groups who consider belief in future predictions to be forbidden.