Formula Kunci Mengurai Sejarah (Dalam Genetik Aksara Syllable) – bagian 2

Para ahli bahasa di dunia telah mengakui kecanggihan pemikiran orang-orang di masa lalu dalam hal penyusunan tata bahasa, terutama teks Ashtadhyayi yang disusun Panini, seorang sarjana yang dihormati di India kuno. Ia ahli filolog dan tata bahasa. Diperkirakan hidup antara abad keenam atau kelima sebelum masehi.

F. Max Mller, dalam The Science of Language (1891, pp.124-5) memuji tata bahasa Panini sebagai berikut:

Orang Hindu adalah satu-satunya bangsa yang mengolah ilmu tata bahasa tanpa menerima dorongan apa pun, langsung atau tidak langsung, dari orang-orang Yunani. 

Dalam bahasa Sansekerta, tata bahasa disebut Vyakarana, yang berarti analisis atau mengambil potongan. Sebagaimana tata bahasa Yunani berutang atas studi kritis Homer, tata bahasa Sansekerta muncul dari studi tentang Veda, puisi paling kuno dari Brahmana. 

Tidak ada bentuk, regular atau irregular, dalam seluruh bahasa Sanskerta, yang tidak disediakan dalam tata bahasa Panini dan para komentatornya. Ini adalah kesempurnaan dari analisis empiris bahasa, tak tertandingi, bahkan tidak diketahui, oleh apa pun dalam literatur tata bahasa negara lain.

Leonard Bloomfield (1933; 1995) mengatakan tata bahasa Panini sebagai salah satu monumen terbesar kecerdasan manusia. Ia menjelaskan bahwa teks Ashtadhyayi yang di susun Panini, menguraikan dengan rincian yang paling kecil tiap-tiap infleksi, derivasi, dan komposisi, serta tiap-tiap pemakaian sintaksis bahasa penulis. Tak ada, hingga kini, bahasa lain yang telah diuraikan dengan begitu sempurna.

Kehebatan tata bahasa Panini, terutama Teori analisis morfologisnya dianggap lebih maju daripada teori Barat mana pun – setidaknya hingga sebelum abad ke-20. Risalahnya yang bersifat generatif dan deskriptif, bahkan telah dibandingkan dengan mesin Turing.

Demikianlah, kehebatan tata bahasa dari dunia kuno yang bahkan telah diperbandingkan dengan mesin turing (model komputasi teoretis yang ditemukan Alan Turing), yang merupakan cikal bakal komputer, menghadirkan pertanyaan tersendiri bagi saya, apakah dengan itu semua tidak cukup mampu mengurai kekacauan bahasa di dunia? hingga tiba pada kesimpulan bahwa memang manusia pada awalnya berbicara dalam satu bahasa yang sama, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al Kitab Kejadian 11 (1-9):

Pada awalnya, orang-orang di seluruh dunia hanya memiliki satu bahasa dan menggunakan kata-kata yang sama. 

Saat orang bergerak ke arah timur, mereka menemukan dataran di Shinar dan menetap di sana. 

Mereka berkata satu sama lain,”Ayo, mari kita membuat batu bata dan memanggangnya secara menyeluruh.” Mereka menggunakan batu bata, bukan batu, dan ter untuk mortir. 

Kemudian mereka berkata, “Mari, mari kita membangun sebuah kota, dengan menara yang mencapai ke langit, sehingga kita dapat membuat nama untuk diri kita sendiri, jika tidak kita akan tersebar di seluruh permukaan bumi.” 

Tetapi TUHAN turun untuk melihat kota dan menara yang dibangun orang-orang.Tuhan berkata, “Jika sebagai satu orang yang berbicara bahasa yang sama mereka telah mulai melakukan ini, maka tidak ada yang mereka rencanakan untuk dilakukan tidak mungkin bagi mereka. 

Ayo, mari kita turunkan dan membingungkan bahasa mereka sehingga mereka tidak akan saling memahami.” Jadi, Tuhan menyebarkan mereka dari sana ke seluruh bumi, dan mereka berhenti membangun kota. 

Itulah sebabnya mengapa kota itu disebut Babel, karena di sanalah Tuhan membingungkan orang-orang dengan bahasa yang berbeda. Dengan cara ini dia menyebarkannya ke seluruh dunia.

Mengapa “Karma” Jadi Inti Ajaran di Awal Peradaban Manusia?

Di awal saya menyelami tema ini, salah satu pertanyaan yang timbul dalam benak saya adalah: apa urgensinya karma menjadi tema utama kampanye orang-orang suci di masa kuno?

Untuk pertanyaan tersebut, saya mendapat gambaran jika kehidupan dan alam pikiran orang-orang di masa lalu yang akrab dengan hal-hal luar biasa yang datang dari figur “dewa-dewa”, yang nampaknya menjadi dasar dari kampanye tersebut.

Karena itu, penjabaran konsep karma tersebut menitik beratkan pemahaman bahwa: siapa pun dia… dewa, manusia setengah dewa, raja, atau pun manusia biasa, nasibnya dalam kehidupan sepenuhnya bergantung pada usahanya atau perjuangannya. Tidak ada yang dibeda-bedakan diantara kesemuanya.

Dengan kata lain, kesenjangan kualitas yang ada di antara entitas ini (“dewa”, “manusia setengah dewa”, manusia biasa) yang berusaha dijernihkan, sehingga tidak ada sikap arogansi pada individu yang memiliki kualitas unggul atau superioritas, dan tidak ada rasa pesimis pada individu yang memiliki kualitas biasa-biasa saja.

Jadi, apa yang kita lakukan atau perjuangkan hari ini, menentukan apa yang kita dapatkan di masa depan. Untuk lebih mudah memahami ini, saya beri contoh…

Jika hari ini kita pasrah hidup di daerah yang polusi udaranya tinggi, maka di masa mendatang, efek yang akan kita alami seperti memiliki kesehatan yang buruk. Hal sebaliknya akan kita temukan di masa mendatang jika pada hari ini kita berupaya atau berjuang untuk menghindari polusi udara tersebut.

Memahami makna “Kelahiran kembali” dalam konsep karma

Di dalam film “the rise of genghis khan”, ada adegan ketika Temujin (Genghis khan) berdialog dengan cenayangnya, yang menegaskan bahwa dalam mata batinnya ia melihat Temujin yang dihadapannya adalah temujin yang terlahir di tengah padang rumput dalam pelariannya setelah sempat tertawan cukup lama oleh musuhnya.

Pernyataan cenayang itu mengilustrasikan bahwa momen di padang rumput, adalah momen di mana temujin memulai tekad barunya untuk bangkit menjadi sosok yang akan disegani di masa depan.

Saya melihat bahwa nampaknya seperti inilah sesungguhnya konsep “kelahiran kembali” dalam konsep karma. Yaitu sebuah bentuk metafora.

Illustrasi sejenis sebagai metafora untuk kematian dapat kita temukan pula di dalam dialog-dialog film. Misalnya dengan ungkapan… “Dia sesungguhnya telah mati beberapa tahun lalu, itu sejak anak istrinya pergi meninggalkannya…”

Dengan metafora seperti ini, dalam kehidupan nyata, kita bisa mengalami “mati” dan “terlahir kembali” berkali-kali.

Dalam Konsep ajaran-ajaran di India “kelahiran kembali” menyertai doktrin karma. Umumnya dikatakan bahwa karma atau tindakan yang kita lakukan dalam “kehidupan” di masa ini, akan mempengaruhi kehidupan kita di “kelahiran” berikutnya. “Kelahiran kembali” ini yang akrab disebut “samsara” atau “roda samsara”. 

Simpelnya, dapat dikatakan Samsara adalah rangkaian karma (tindakan, perjuangan) yang tidak putus dalam kehidupan.

Roda Samsara (yang saya duga merupakan asal dari kata sengsara dalam bahasa Indonesia) dalam bahasa Sanskrit bermakna: “mengembara” dan/ atau “dunia.” Dari definisi ini dapat kita lihat jika “kematian” dan “kelahiran kembali” yang ada dalam konsep karma pada dasarnya terjadi di dalam kehidupan dunia.

Pesan Sakral di Balik Aksara Lontara

dokpri

Kebanyakan dari kita sebenarnya tidak mengetahui apa sesungguhnya yang perlu untuk diperjuangkan. Bahkan parahnya, terkadang bahkan bingung mengindentifikasi masalah apa yang sebenarnya sedang dihadapi.

Ketika anda belum mengetahui apa yang perlu diperjuangkan, maka capaian kesuksesan tidak relevan anda gelisahi.

Di titik ini, yang layak anda resahi adalah upaya identifikasi masalah anda yang sesungguhnya, dan solusi apa yang terbaik untuk mengatasinya.

Solusi yang anda temukan itulah nantinya yang menjadi hal penting untuk anda perjuangkan. Karena ujung dari solusi itu tentunya adalah kesuksesan anda.

Tapi benar juga jika ada yang mengatakan: tidak masalah anda sukses atau tidak, yang terpenting anda telah berjuang. lagi pula,  kesuksesan itu tidak riil. 

Faktanya, hidup saya dan anda pada dasarnya adalah tentang perjalanan.. dari satu capaian (kesuksesan), berjuang ke capaian yang lain, demikian seterusnya. Dari fakta ini, terlihat jelas Hanya “perjuangan” kita yang riil bukan?

Jadi, ada benarnya jika sebuah pesan kuno mengatakan: “Takdir” dan perjuangan kita di dalamnya,  yang membuktikan bahwa “kita ada”.

Konsep ajaran paling awal di masa kuno pun sebenarnya sangat menekankan “sikap perjuangan” yang sungguh-sungguh dari setiap insan dalam menjalani hidupnya.

Pesan sakral tersebut bahkan saya temukan tersimpan dalam aksara lontara.

Seperti susunan aksara Hanacaraka yang menyiratkan cerita atau pesan tertentu, maka susunan aksara lontara pun demikian adanya.

Pesan sakral dalam aksara Lontara tersebut silahkan anda cermati dalam uraian berikut ini…

KA – GA – NGA – NGKA
“Takdir” dan perjuangan kita di dalamnya,  yang membuktikan bahwa “kita ada”.

PA – BA – MA – MPA
Perjuangan itu menentukan, kita mendapat tiket apa untuk memasuki gerbang yang mana…

TA – DA – NA – NRA
Dia yang “besar”, adalah yang berjuang untuk orang banyak.

CA – JA – NYA – NCA
Setelah berjaya… tidak “meninggalkan jejak”, ia dikenang menurut nama panggilan atau gelar saja.

YA – RA – LA – WA
Inilah tatanan prinsip dasar yang anggun…

SA – A – HA
Menyebarlah / sebarlah seluas-luasnya…

Jika anda cermati, kalimat pertama dalam pesan sakral ini, jelas menonjolkan upaya “perjuangan” …sama sekali tidak menekankan upaya mencapai kesuksesan bukan? 🙂 

Jika ditinjau lebih holistik, kesuksesan sebenarnya memang bukanlah domain kita untuk menilai. Di dunia ini kita tidak lebih dari figuran  yang memainkan sebuah peran.

Kalimat kedua bahkan cukup jelas mengatakan jika “perjuangan” itu yang menentukan anda mendapat tiket apa  untuk memasuki gerbang yang sesuai dengan tiket tersebut. 

Tidak ada mengatakan “kesuksesan” itu yang menentukan anda mendapat tiket apa… Jadi, anda sebenarnya tidak perlu meresahi kesuksesan… Fokuslah saja mengobarkan perjuangan militan dalam hidup anda… 🙂

Sekian uraian ini. Semoga bermanfaat. Salam.