Linguistik Komparatif dan Fungsinya dalam Mengungkap Sejarah Kuno

(gambar: wikipedia.org)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa Linguistik Komparatif adalah cabang linguistik yang mempelajari kesepadanan fonologis, gramatikal, dan leksikal dari bahasa yang kerabat atau dari periode historis dari satu bahasa.

Dengan demikian, jika dalam suatu penelusuran suatu bahasa ditemukan adanya indikasi kesepadanan-kesepadanan sebagaimana yang dimaksud dalam definisi di atas pada bahasa lain, maka sudah semestinya hal tersebut dilihat sebagai hal yang mengindikasikan adanya kekerabatan di antara kedua bahasa tersebut.

Namun demikian, akan timbul perdebatan jika bahasa yang tengah dikomparasi tersebut berada dalam rumpun bahasa yang berbeda.

Misalnya, jika merujuk pada konsep rumpun bahasa, bahasa yunani kuno bahasa Indonesia dan bahasa tae’ berada dalam rumpun bahasa yang berbeda.

Bahasa Yunani kuno tergolong dalam rumpun bahasa Indo Eropa, sementara bahasa Indonesia dan bahasa tae’ masuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

Yang menarik adalah karena sesungguhnya terdapat beberapa variable pada ketiga bahasa tersebut yang menunjukkan keidentikan, baik jika ditinjau secara fonologis, gramatikal maupun leksikal.

Hal tersebut dapat kita lihat dalam paparan berikut ini…

Kita mengenal kata “teluk” dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI diartikan sebagai “bagian laut yang menjorok ke darat”.

Namun melalui pencermatan etimologi serta tinjauan filologi, kita akan menemukan fakta bahwa suku kata te- pada kata “teluk” menunjukkan keidentikan dengan bentuk “the” yang umum terdapat dan digunakan dalam gramatikal bahasa rumpun Indo Eropa. 

Dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, Bentuk “the” umumnya Digunakan sebelum kata benda, dan terutama digunakan untuk menandai kata benda, fenomena alam, waktu, atau apa pun yang unik dan ingin ditonjolkan. 

Fungsi “the” yang demikian, akan terlihat dimiliki pula oleh suku kata te- pada kata “te-luk” jika kita memaknai suku kata setelahnya (-luk) sebagai bentuk kata benda. Yakni kata “luk” yang pada hari ini secara spesifik digunakan untuk menyebut lekukan pada keris. 

Jadi, tinjauan history linguistik untuk kata “teluk” adalah bahwa bisa jadi bentuk primordialnya adalah “Te-luk” atau pun “The-Luk”. Dalam hal ini, bentuk “Te-luk” atau “The-Luk” dapat memiliki dua pemaknaan.

Yaitu, Secara leksikal (makna yang bersifat tetap) bermakna: Lekuk; keluk; atau lengkungan, dan secara gramatikal (makna yang berubah-ubah sesuai dengan konteks pemakaiannya) dapat mengandung makna sebagai bentuk penekanan terhadap fenomena alam-dalam hal ini “bagian laut yang menjorok ke darat”-ketika disandingkan dengan nama wilayah atau kawasan. Contoh: Te-Luk Benggala, dapat dimaknai: lekukan atau kelukan pada kawasan perairan Benggala. 

Jika kemudian pada hari ini dalam bahasa Indonesia kita temukan kata “teluk” lebih bermakna “bagian laut yang menjorok ke darat”, maka dapat dilihat bahwa kata ini kemungkinannya lahir dan berkembang dari suatu komunitas masyarakat bahari yang berorientasi dari sudut pandang laut bukan dari daratan.

Asal Usul Orang Bajo Menurut Literatur Kuno

Hingga kini asal-usul Suku Bajo masih menjadi misteri. Keberadaan komunitas mereka yang dapat ditemui menyebar di berbagai wilayah di perairan Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Malaysia, dan Filipina, serta kebiasaan hidup yang memilih menetap di atas perairan yang memungkinkan mereka dapat berpindah setiap saat, menjadikan mereka mendapat julukan sebagai pengembara laut.

Pada masa sekarang, ada banyak penelitian ilmiah yang membahas keunikan orang Bajo. Terutama kemampuan mereka dalam urusan menyelam, yang dapat menahan nafas hingga 13 menit di kedalaman hingga 70 meter.

Salah satu studi ilmiah yang cukup menarik tentang orang Bajo, adalah hasil penelitian dari Center Geogenetics, University of Copenhagen yang dipimpin oleh Melissa Ilardo. Hasil Studi ilmiah tersebut diterbitkan dalam Jurnal Cell Press. (dapat dibaca di sini)

Melissa Ilardo yang memimpin penelitian, mengatakan: “Kami tahu bahwa anjing laut selam, seperti anjing laut Weddell memiliki limpa yang besar dan tidak proporsional. Saya berpikir bahwa jika seleksi alam yang berlangsung pada pada anjing laut memberi mereka limpa yang lebih besar, maka itu berpotensi dapat melakukan hal yang sama pada manusia.

Penelitian yang dipimpin Melissa Ilardo, membandingkan sampel genetik dari orang Bajo dengan tetangga dekat mereka, Saluan yang tinggal di daratan.

Hasilnya menunjukkan ukuran limpa di antara orang Bajau rata-rata 50% lebih besar bahkan di antara anggota masyarakat yang tidak menyelam.  

“Kami percaya bahwa di Bajau mereka memiliki adaptasi yang meningkatkan kadar hormon tiroid dan karenanya meningkatkan ukuran limpa mereka,” kata Melissa Ilardo.

Demikianlah, dengan menggunakan studi genom komparatif, Melissa Ilardo dan tim penelitinya menunjukkan bahwa seleksi alam varian genetik pada gen PDE10A telah meningkatkan ukuran limpa Orang Bajo.

Literatur kuno yang membahas orang Bajo

Prof. Edward H. Schafer (1913-1991) seorang ahli Sinologi, sejarawan, dan penulis Amerika dalam bukunya “The Golden Peaches of Samarkand” (University of California Press: 1963), ada mengutip catatan dari Hui-lin seorang leksikografer Buddhis dari Dinasty Tang pada abad kedelapan dan kesembilan, yang cukup spesifik mengurai ciri-ciri yang dimiliki orang Bajo.

berikut ini kutipannya…

“…mereka juga disebut Kurung. Mereka adalah orang-orang barbar di pulau-pulau besar dan kecil, dari Laut Selatan.” Mereka sangat hitam, dan mengekspos sosok telanjang mereka. Mereka bisa menjinakkan dan menyerbu binatang buas, badak, gajah dan sejenisnya. Mereka juga disebutkan unggul ketika mereka masuk ke air, karena mereka dapat tetap di sana sepanjang hari dan tidak mati.”

Ciri-ciri yang disebut Hui-lin terutama pada kemampuan bertahan di dalam air, tentu sangat identik dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang Bajo. Dan rasanya hal ini tak perlu diragukan lagi.

Karena faktanya, pada hari ini, kemampuan menyelam yang dimiliki orang Bajo tidak kita temukan dimiliki pula komunitas masyarakat lainnya di belahan manapun planet ini.

Hal menarik lainnya dari catatan Hui-lin yang sangat jelas menyebutkan ciri-ciri yang dimiliki orang Bajo, adalah pada kalimat: “…mereka juga disebut Kurung…”

Makna Terpendam dari Kata “Mati”, dan Kaitannya dengan huruf Omega

Wilhelm von Humboldt mengatakan : “…Suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas. (The Encyclopaedia Britannica, Ninth Edition Vol-XII

Ungkapan Humboldt di atas memang sulit terbantahkan. Bahkan, ada beberapa kata yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari saat ini, yang ternyata memiliki makna yang jauh lebih dalam dari pada yang kita ketahui selama ini. 

Kata “mati” adalah salah satunya. Berikut ini penjabarannya…

Kata “mati” dalam bahasa Cina bisa berarti “sepatu kuda” atau “kuku kuda” ( Pinyin: Ma kuda ; ti = kuku ). 

Hal menarik akan kita dapatkan jika kita mencermati bahwa bentuk sepatu kuda atau ladam kuda itu persis sama bentuknya dengan huruf ke 24 atau “huruf terakhir” dalam aksara Yunani, yakni: Omega.

Dari memahami beberapa hal di atas,  maka, makna filosofis yang bisa kita munculkan yaitu bahwa: ” ‘mati’ adalah saat dimana kita tiba pada “huruf terakhir” pencatatan sejarah hidup kita.” 

Makna filosofis ini jelas merupakan bentuk ekspresi pengetahuan tentang esensi hidup yang dimiliki oleh leluhur kita di masa kuno.

Yang menarik karena kita butuh mengkolaborasi aksara bahasa Cina dan Aksara Yunani terlebih dahulu, agar kemudian kita dapat memahami makna filosofi yang sangat mendalam, yang tersimpan pada kata ‘mati’ dalam bahasa Indonesia.

Makna filosofis dari kata “mati” yang terungkap ini, sebenarnya bisa memberi gambaran kepada kita bahwa alam pikiran orang-orang di masa kuno sangat akrab dengan hal yang sifatnya esensi. 

Sehingga kata-kata atau pun nama-nama angka yang mereka munculkan senantiasa mengandung makna filosofis yang sangat tinggi nilainya. 

Mengenai nama-nama huruf yang saya maksudkan memiliki makna filosofis, silahkan baca tulisan saya yang ini: Makna Sakral di Balik Nama-nama Angka

Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat. Salam.

Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong

Ketinggian puncaknya yang mencapai 3478 mdpl, menjadikan gunung Latimojong sebagai daratan tertinggi di pulau Sulawesi.

Para pendaki mengenal puncaknya dengan nama “Rante Mario”. Sementara itu masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai “Batu Bolong” yang artinya “Batu Hitam”. Disebut demikian bisa jadi karena bebatuan di puncak Rante Mario yang sebagian besar kelihatan menghitam.

Makna nama Rante Mario sendiri adalah “Tanah Bahagia”. “Rante” dalam bahasa lokal (bahasa tae’) artinya: tanah lapang dan datar di ketinggian gunung ataupun bukit. Sementara “Mario” artinya: Senang / bahagia.

Letak gunung Latimojong tepat berada di lintasan garis bujur 120 derajat (jika mengacu  pada konsensus dunia modern yang meletakkan 0 meridian di greenwich yang memang sejajar dengan maroko dan di masa lalu akrab dengan sebutan “kerajaan barat”).

gunung latimojong terlihat tepat berada di garis bujur 120 derajat (Dokumen pribadi)

Anti meridiannya (titik garis bujur 180 derajat) berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu (sebuah negara di samudera pasifik).

Garis bujur pada peta bumi (Dokumen pribadi)

Dengan pertimbangan bahwa matahari terbit pada ujung timur muka bumi (di wilayah Tuvalu) tepat pada pukul 06:00, dan bahwa 1 jam = 15 derajat (180 derajat = 12 jam), Maka Matahari membutuhkan waktu 4 jam untuk bergerak ke arah barat dan terbit di wilayah gunung Latimojong yang berjarak 60 derajat ke arah barat dari Tuvalu.

Ketika terbit fajar di wilayah gunung Latimojong, di saat yang bersamaan di Tuvalu telah menunjukkan jam 10 pagi. Hitungan inilah yang menjadi alasan orang-orang di masa kuno menyebut wilayah Latimojong atau wilayah Nusantara secara luas sebagai “negeri pagi” atau “negeri sabah” (“sabah” dalam bahasa arab artinya “pagi”. Sabah memiliki keterkaitan bentuk dengan kata “subuh” dalam bahasa Indonesia).

Hari ini, sebutan toponim “sabah” yang dapat ditemukan di beberapa tempat di nusantara (seperti wonosobo di pulau Jawa, atau sabah di pulau kalimantan), menjadi dasar klaim sebagian orang bahwa nusantara adalah negeri sabah yang disebut dalam beberapa kitab suci sebagai negeri Ratu Balqis di masa Nabi Sulaiman.

Sementara itu di masa sekarang, di pulau Sulawesi tidak ditemukan lagi toponim Sabah.  Yang paling mendekati mungkin adalah toponim “Padang Sappa” yang berada di kabupaten Luwu.

Namun demikian, di pulau Sulawesi masih ada satu nama wilayah (toponim) yang sangat jelas bermakna “pagi”, yaitu: Makale. Dalam bahasa tae’ “makale” artinya “pagi”.

Makale saat ini merupakan nama ibukota kabupaten Tana Toraja. Sebagian kaki gunung Latimojong di bagian utara masuk dalam kawasan administrasi kabupaten Tana Toraja.

Jadi, asal usul nama “Makale” sesungguhnya berasal dari pemaknaan orang-orang di masa kuno bahwa wilayah tersebut adalah merupakan kawasan “negeri pagi”. Karena ketika matahari terbit di wilayah ini, di saat yang bersamaan, di ujung timur (tempat pertama kali matahari terbit) telah menunjukkan jam 10 pagi.

Jika dijabarkan dalam pemahaman arah jarum jam sebagai arah penunjuk mata angin, di mana jam 06:00 (pagi) mewakili arah timur, jam 12:00 (tengah hari) mewakili arah utara, jam 18:00 (petang) mewakiliki arah barat, dan jam 24:00 (tengah malam) mewakili arah selatan, maka jam 10:00 (pagi) dapat dikatakan mewakili arah timur laut. 

Arah jarum jam biasanya digunakan pula untuk menyebut arah mata angin. (Dokpri)

Sehingga dengan demikian, di masa kuno, selain disebut sebagai “negeri pagi”, wilayah Nusantara kadang juga disimbolisasikan dengan sebutan “negeri timur laut”. Hal ini telah saya bahas khusus dalam tulisan ini: Isanapura (Negeri Timur Laut), Sebutan Nusantara di Masa Kuno.