Nama Keturah Juga Bermakna “Air”, ini Jejaknya Dalam Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Tae’, dan Bahasa Welsh

Keturah yang bermakna “Air”

Dalam beberapa literatur nama keturah kadang kita jumpai tertulis ‘Ketura’ atau ‘Qetura’ (bentuk Hebrew). Bentuk ‘tura’ pada nama tersebut identik dengan ‘dura’, sebuah nama yang dalam tradisi jawa terekam sebagai salah satu nama dari empat abdi (pembantu) Ajisaka, yaitu: Dura, Sambadha, Duga, dan Prayuga.

Ada banyak kalangan yang berpandangan bahwa empat nama tersebut sesungguhnya merepresentasi unsur makrokosmosm yaitu: Dura = air, Sambadha = Api, Duga = tanah, dan Prayuga = angin. [Pembahasan mengenai hal ini telah saya ulas dalam artikel berjudul “Kosmologi: Konsep Pengenalan Jati Diri Manusia yang Terawal“]

Dalam bahasa Tae’ terdapat kata ‘duro’ yang berarti: air. Di Sulawesi selatan kata ‘duro’ biasanya digunakan untuk menyebut kuah pada makanan, seperti duro konro, duro gulai, duro bakso, dan lain sebagainya.

Di Semanjung Iberia terdapat sungai Douro yang mengalir sepanjang 897 kilometer, melintasi barat laut Spanyol,  masuk ke Portugal dari sisi utara, melintasi kota Porto, hingga akhirnya bermuara di Samudera Atlantik. Bentuk Latin dari Douro adalah ‘Durius’, sementara dalam bahasa Welsh modern, dwr yang berarti: air. (sumber di sini)

Demikianlah, dari bahasa Jawa kuno, bahasa Tae’, hingga bahasa Welsh, kita temukan bahwa kata dura / duro berarti: Air.

Artikel ini dan artikel sebelumnya “Asal Usul Kata “Air” dalam Pusaran Polemik Sarah dan Hajar” kiranya cukup memberi gambaran kepada pembaca bahwa nama-nama istri Nabi Ibrahim, entah alasan apa, dalam perjalanan sejarah kemudian terekam jejaknya dalam memori kolektif manusia sebagai nama yang merujuk pada makna “air”.

SEKIAN.

Yang minat silakan WA: 0811 469 694

Author: fadlybahari

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

One thought on “Nama Keturah Juga Bermakna “Air”, ini Jejaknya Dalam Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Tae’, dan Bahasa Welsh”

  1. Thanks atas tulisannya. Memang menarik bahwa bnyk kisah2 mitologis bangsa2 di dunia, baik yg bertetangga secara georgafis maupun yg sangat jauh, mirip satu sama lain. Kita dapat menduga bahwa ada proses asimilasi dan adopsi, adaptasi dari cerita2 seblumnya oleh komunitas2 lebih kemudian atau tetangga. Yg menarik dari uraian Anda ttg Hagar, Sara/h/i, Ketura yg terkait air, mengingatkan sy akan mitos ttg manusia (penguasa) awal di daerah pegunungan Mamasa. Ada mitos ttg Pongkapadang dari wilayah Sa’dan Toraja (yg hijrah karena “banjir”) yg menikah dgn perempuan yg ia temui di wilayah pegunungan bagian Selatan, ketika perahu perempuan itu terdampar. Perempuan ini bernama Torije’ne’, yg sangat dekat dgn ejaan bhs. Makassar yg artinya: ‘orang dari/di air’. Tentu maksudnya adalah dari daerah perairan atau pantai, atau mugkn jg maksdnya ‘datang/berasal dari air’. Singkatnya, terkait dgn air. Dalam mitos ini, Torije’ne’ jg memainkan “fungsi Hawa”.

    Like

Leave a comment