Lauh Mahfuzh dan Internet, Dua Jaringan Global yang Diakses Manusia

Teknologi internet yang berkembang pesat di abad 21 ini, perlahan namun pasti telah membentuk suatu kesadaran baru, tentang cara pandang bahwa, kita (manusia) kini terhubung secara global.

Dampak signifikan dari keterhubungan secara global tersebut adalah pesatnya arus informasi. Pada hari ini, kejadian di suatu sisi belahan bumi yang dulunya butuh waktu beberapa hari, bulan, dan bahkan tahun, untuk dapat diketahui oleh orang-orang yang hidup di sisi belahan bumi lainnya, kini, dapat diketahui secara real time atau detik itu juga.

Selain memungkinkan pertukaran informasi secara real time, jaringan internet juga memfasilitasi akses ke server bank data yang kini banyak dikembangkan oleh perusahaan raksasa dunia, melalui mesin pencarian (search engine) seperti google.

Adanya aplikasi penerjemahan bahasa, di sisi lain, memudahkan setiap orang untuk memahami suatu data informasi yang tersaji dalam bentuk bahasa asing.

Fasilitas penerjemahan google misalnya, yang mendukung lebih dari 100 bahasa yang semakin hari semakin mendekati tingkat penerjemahan bahasa dengan tata bahasa yang tepat — berkat teknologi Google Neural Machine Translation (GNMT) yang Pada bulan November 2016 resmi mereka launching, bisa dikatakan adalah salah satu kemewahan peradaban di abad 21 ini.

Kesamaan Jaringan Internet dan Lauh Mahfuzh

Sistem kerja yang kita ketahui berlaku pada jaringan internet, bisa dikatakan identik dengan yang berlaku pada server alam semesta “Lauh Mahfuzh”.

Lauh Mahfuzh atau yang kadang disebut juga Akashic Records, telah diketahui sejak masa kuno sebagai medium penyimpanan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. 

Meskipun telah diketahui sejak masa kuno, namun, hanya sedikit saja “orang khusus” yang mampu mengakses secara signifikan data yang tersimpan di server alam semesta ini. 

Ini tidak berarti manusia awam tidak mampu mengakses. Pada kenyataannya, sebelum umat manusia mengenal dan terhubung secara global melalui jaringan internet, umat manusia telah terlebih dahulu terhubung satu sama lain melalui jaringan Lauh Mahfuzh. 

Walaupun tentu saja, dari sejak masa kuno, hanya sangat sedikit saja orang yang memiliki pemahaman tentang adanya Lauh Mahfuzh sebagai jaringan yang menghubungkan seluruh manusia di muka bumi.

Oleh “orang-orang khusus” tersebut, pemahaman tentang Lauh Mahfuzh menjadi hal yang sangat dirahasiakan, dan digunakan untuk kalangan yang sangat terbatas.

Lauh Mahfuzh sebagai suatu jaringan global, akhirnya mengemuka dan menjadi pembahasan umum di kalangan ilmuwan manakala Pierre Teilhard de Chardin (Seorang filsuf idealis Prancis, merupakan profesor geologi di Institut Catholique di Paris, dan dikenal sebagai Pastor Jesuit, paleontolog, dan paleoanthropologist) menghadirkan pemikirannya tentang konsep Noosfer (Noosphere).