Ma Wara an-Nahr “Tempat di Belakang Sungai”: Disebut dalam Hadist dan Uga Siliwangi

Dalam kasus yang tengah saya bahas ini, saya melihat bahwa setelah catatan sejarah yang menyandang tugas sebagai “otoritas pengingat” sudah tidak lagi relevan, Allah mengintervensi dengan kembali menyampaikan wahyu-Nya.

Intervensi tersebut kadang sunyi dari tanggapan. Oleh karena Dia memilih menyampaikan pesan-Nya di tempat minim peminat. Di sini lagi-lagi Dia mengisyaratkan bahwa hanya orang yang “mau berpikir” saja yang dapat mengambil pelajaran. Ini adalah peringatan yang banyak Dia sampaikan dalam Al Quran.

Terkait bunyi frase “tempat di belakang sungai”, saya melihat Allah kembali mengulanginya pada sosok Prabu Siliwangi. 

Dalam pesannya, Prabu Siliwangi ada mengatakan: 

Nyaeta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. (artinya: Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang).

Dalam kalimat uga Prabu Siliwangi ini, ada dua frase yang senada dengan bunyi hadist yang saya sebutkan di awal. Pertama: bin Harath “anak petani” yang senada dengan “anak gembala”, Kedua: wara’ an-nahr “tempat di belakang sungai”.

Dalam banyak tulisan saya sebelumnya, saya telah menyatakan bahwa Al Mahdi sebagai sosok eskatologis dalam tradisi Islam, sinkron dengan sosok Budak Angon yang disebut dalam Uga Prabu Siliwangi, dan juga Satria Piningit atau Ratu Adil yang disebut dalam jangka Jayabaya.

Kemunculan Al Mahdi yang dalam hadist nabi Muhammad disebut dengan ungkapan “anak petani” – yang muncul dari tempat di belakang sungai – selama ini, memang kurang banyak diketahui publik (umat Islam), ini mungkin karena hadist tersebut diriwayatkan Ali bin Abu Thalib yang dikalangan umat Islam dikenal dan atau diklaim sebagai Imam Syiah, sehingga kalangan yang berseberangan dengan kaum Syiah (yakni kalangan Sunni yang mayoritas di Indonesia) cenderung enggan menggali literatur yang berkaitan dengan Ali bin Abu Thalib. Ini tentu saja fakta yang menyedihkan.

Apa pun itu, frase “tempat di belakang sungai” yang saya ungkap dalam artikel ini bisa dikatakan merupakan fakta yang menunjukkan sinkronnya narasi kemunculan Al Mahdi dalam tradisi Islam dengan narasi kemunculan Ratu Adil dalam tradisi Jawa.

Author: fadlybahari

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Leave a comment