Esensi Bahasa Adam

(sumber ilustrasi: quietrev.com)

Fungsi Bahasa

Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period, mengatakan bahwa dalam kitab Jawa kuno, Tantu Panggelaran, Bhattara Guru digambarkan sebagai guru pertama kali dari sekolah yang paling awal (paling tua), ia dikatakan sebagai guru para dewa (divine teachers). Dia direpresentasikan sebagai guru berbicara (speech) dan guru bahasa (language). Terkait hal ini, Dalam tulisan yang lain, telah saya ulas suatu dugaan bahwa figur Batara Guru tidak lain adalah personifikasi dari Nabi Adam. (baca: di sini)

Demikianlah, setelah Nabi Adam turun ke bumi, ia mengajarkan manusia bahasa, yang merupakan kebutuhan utama yang memungkinkan manusia dapat merintis peradaban di muka bumi. Ini karena dengan bahasalah kemampuan kognisi manusia dapat bekerja dengan sangat baik.

Yuval Noah Harari dalam bukunya “Sapiens“mengatakan: Homo Sapiens menaklukkan dunia terutama berkat bahasanya yang unik. Lebih lanjut Yuval mengatakan bahwa bahasa manusia yang luar biasa luwes yang mungkin menyebabkan penggunaannya sesuai fungsinya sebagai instrument berpikir sekaligus berkomunikasi dapat berlangsung mulus dan selaras.

Ini memungkinkan manusia dapat mengutarakan apa yang dia pikirkan secara lugas. Dengan demikian, ketika dua orang manusia berkomunikasi, kita sebut itu kegiatan “bertukar pikiran,” yang di sisi lain dapat pula kita asumsikan sebagai kegiatan membangun ingatan kolektif.

Dalam kurun waktu yang sangat lama, kegiatan bertukar pikiran atau kegiatan membangun ingatan kolektif – yang terus mengalir – dan melibatkan banyak pihak yang memiliki kemampuan analisa berpikir, wawasan dan pengalaman yang beragam – mengakibatkan perbendaharaan bahasa yang awalnya sederhana, secara bertahap berevolusi menjadi sangat kompleks (Terlebih, ketika “makna” menjadi subyek analisis bahasa dari para peserta tersebut).

Perbendaharaan “nama” atau “kata” dalam bahasa menjadi sangat banyak, yang seiring dengan itu kompleksitas berpikir manusia peserta kegiatan “bertukar pikiran” atau kegiatan “membangun ingatan kolektif” pun berada di tingkat yang lebih rumit dibandingkan peserta kegiatan di tahap-tahap awal.

Di titik ini, dapat kita lihat bahwa sesungguhnya bahasa di satu sisi memungkinkan manusia berpikir secara individu dan di sisi lain memungkinkan manusia berpikir secara kolektif. Pada tataran dimana manusia berpikir secara kolektif, bangunan “rekaman pengetahuan” dapat diilustrasikan sebagai suatu jaringan yang menghubungkan seluruh ingatan manusia dari masa lalu hingga masa yang akan datang.

Luar biasa kompleks dan sangat massive. Hal ini sejalan dengan pemikiran Pierre Teilhard de Chardin (Seorang filsuf idealis Prancis, merupakan profesor geologi di Institut Catholique di Paris, dan dikenal sebagai Pastor Jesuit, paleontolog, dan paleoanthropologist) tentang konsep noosphere.

Author: fadlybahari

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Leave a comment