Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya

“Nama asli Hermes adalah Henokh. Dia adalah seorang penghuni di dataran tinggi Cina…”

Demikian penggalan bunyi sebuah surat anonim yang dibuat hampir 900 tahun yang lalu. 

Mengidentikkan Hermes dengan Henokh (dikenal sebagai Nabi Idris dalam tradisi Islam) bukanlah suatu hal yang mengejutkan karena telah banyak pemikir sejak zaman dahulu yang juga memberikan opini seperti itu. 

Mengatakan bahwa Hermes atau Henokh sebagai penghuni di dataran tinggi Cina-lah yang membuat surat anonim itu menjadi sensasional. 

Terlebih karena yang teridentifikasi sebagai penulis surat anonim itu adalah seorang tokoh ilmuwan besar, yang jika dipikir-pikir rasanya tidak perlu lagi membuat sesuatu yang kontroversi hanya untuk membuat dirinya menjadi terkenal.

Penulisnya diidentifikasi sebagai Ibn Arfa ‘Ra’s, seorang muslim spanyol yang dikenal sebagai ahli kimia dari abad ke-12. Setidaknya, demikianlah yang diungkap Joseph Needham, dalam bukunya Science in Traditional China: A Comparative Perspective – yang mengutip surat anonim tersebut. 

Untuk lebih lengkapnya, Ibn Arfa ‘Ra’s, mengatakan seperti ini:

Nama asli Hermes adalah Ahnu (dengan kata lain, Henokh). Dia adalah seorang penghuni di dataran tinggi Cina, seperti yang ditunjukkan oleh penulis “Partikel Emas”, di mana dia mengatakan penambangan dijaga oleh Hermes di Cina, dan Ares (mungkin Horus) menemukan cara melindungi pekerjaan itu dari genangan air. Sekarang, Ares tinggal di Cina bagian bawah dan menjadi milik orang India pertama. 

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Ahnu, damai sejahtera atasnya, turun dari dataran tinggi ke dataran rendah Cina ke India dan naik ke lembah sungai di Serendib (yaitu Ceylon), sampai ia tiba di puncak gunung di pulau tempat Adam turun. Begitulah cara dia menemukan gua, yang disebutnya Gua Harta barang berharga.

Terlepas dari benar atau tidaknya isi tulisan tersebut, bagi saya, pernyataan tersebut layak dipertimbangan. Terlebih jika menimbang reputasi Ibn Arfa ‘Ra’s sebagai seorang ahli kimia dari abad ke-12, yang terkenal dengan karyanya Shudhur al-Dhahab, dianggap sebagai teks alkimia puitis terhebat di dunia Muslim – salah satu buku utama ilmu alkimia Arab.

Demikian pula Joseph Needham yang mengutip tulisan tersebut, adalah seorang ilmuwan besar dunia yang tidak diragukan kredibilitasnya. Ia ahli biokimia Inggris, sejarawan dan ahli kebudayaan Cina.  

Dia terpilih sebagai anggota Royal Society pada tahun 1941, anggota British Academy pada tahun 1971, dan pada tahun 1992, Ratu Elizabeth II menganugerahkan kepadanya Companionship of Honor. 

Royal Society mencatat bahwa ia adalah satu-satunya orang yang semasa hidup memegang ketiga gelar tersebut. Needham, bersama rekannya, Julian Huxley, adalah salah satu pendiri Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). 

Namun sebelum saya membahas penyamaan Hermes dengan Henokh (terutama mengenai ungkapan bahwa ia adalah penghuni di dataran tinggi Cina), terlebih dahulu saya ingin membahas penyamaan Hermes dengan dewa Thoth, dewa kebijaksanaan, tulisan, sains, dan seni dalam mitologi Mesir.

Misteri Gua Tempat Jasad Nabi Adam Disemayamkan

Tradisi Yahudi dan Islam umumnya menganggap pemakaman atau tempat peristirahatan terakhir Adam terletak di Gua Machpelah atau biasa juga disebut  “Cave of the Patriarchs” (gua para leluhur), terletak Hebron, Tepi barat.

Sementara itu, Tradisi Kristiani umumnya menempatkannya di Yerusalem, di bawah tempat Yesus disalibkan, yang biasa disebut “Cave of Treasures“. 

Meskipun pendapat tradisi Yahudi dan Islam berbeda dengan pendapat tradisi Kristiani mengenai letak makam Nabi Adam, namun Ketiga tradisi ini senada dalam mengatakan bahwa Seth bertanggung jawab atas penguburan ayahnya Adam.

Dalam naskah The Forgotten Books of Eden (tulisan-tulisan kuasi-Alkitabiah yang tidak pernah mencapai status kanonik, tapi dimasukkan dalam salah satu dari Apocrypha resmi, atau biasa juga disebut Pseudepigrapha Perjanjian Lama) ada memuat kisah hari-hari awal kehidupan Adam dan Hawa di dunia, kelahiran anak-anak mereka, hingga pula saat kematian Adam.

Pada Bab VIII The Forgotten Books of Eden, bagian di mana Adam memberikan kata-kata terakhir sebelum meninggal, terdapat kalimat yang secara spesifik menjelaskan permintaan adam kepada Seth bagaimana jasadnya mesti diperlakukan.

Yaitu bahwa setelah meninggal dunia, ia meminta agar tubuhnya dibungkus dengan Myrrh (mur), Aloes (gaharu), dan Cassia (kulit pohon cassia atau kayu manis Cina), dan tinggalkan di gua tempat ia tinggal selama ini bersama Hawa dan semua bukti tanda mata atau kenang-kenangan yang telah diberikan Tuhan.

Terdapat pula kalimat yang menunjukkan bahwa Adam telah memprediksi akan terjadi Banjir Bah, dan karena itu ia meminta agar jasadnya dibawa bersama kapal yang dibuat keturunannya pada saat itu.

Setelah menyempatkan memberi nasehat, bahwa jangan berbuat dosa, tetap suci dan berlaku adil, Percaya kepada Tuhan, hindari godaan setan, dan bahwa nasehat tersebut haruslah disampaikan secara turun temurun ke generasi-generasi selanjutnya, Adam kembali mengingatkan bagaimana jasadnya diperlakukan dan di mana jasadnya mesti diletakkan setelah banjir bah surut.

Ia mengatakan bahwa mereka yang pergi bersama kapal pada saat banjir bah terjadi, agar senantiasa menjaga keberadaan emas, dupa, dan mur ada bersama dengan tubuhnya, dan ketika banjir surut, tubuhnya beserta emas, dupa,  dan mur, agar diletakkan di tengah-tengah bumi.

Berita tentang diamankannya jasad Nabi Adam di atas kapal Nabi Nuh saat banjir bah terjadi, juga disampaikan al-Tabari. Hal ini dapat anda baca pada halaman 334, buku History of al-Tabari Vol. 1, The: General Introduction and From the Creation to the Flood, yang dialihbahasakan oleh Franz Rosenthal. 

Selain itu, disampaikan pula  Ibnu Katsir dalam naskah al-Bidayah wa an-Nihayah, yang ada kemungkinan merujuk pada al Tabari, karena dalam beberapa catatan disebutkan bahwa dalam hal tertentu Ibnu Katsir mengandalkan riwayat yang disampaikan al Tabari.

Menakar Kesiapan Imam Mahdi Memasuki Panggung Akhir Zaman

Dalam tulisan sebelumnya ( Mengenal Lebih Dekat “Mesiah, Maitreya, dan Imam Mahdi” ) saya telah mengulas adanya kesamaan figur penyelamat di akhir zaman yang terdapat dalam tradisi berbagai agama.

Pada bagian ini, pembahasan akan lebih kepada mengulas koherensi (Kepaduan Makna) tekstual yang terdapat dalam literatur eskatologi yang membahas Maitreya (mewakili tradisi Buddha) dan Imam Mahdi (mewakili tradisi Islam).

Saya melihat, menemukenali koherensi tekstual dari literatur kedua tradisi ini, akan dapat membantu kita dalam upaya lebih mengenali realita “figur penyelamat akhir zaman” yang sesungguhnya, sehingga pada gilirannya, kita dapat menakar seperti apa dinamika yang kemungkinan “Sang Penyelamat” hadapi dalam menjalani perannya.

Dapat dikatakan bahwa pembahasan ini merupakan langkah kritis mengantisipasi fakta yang kerap kita temukan dalam dunia literatur sejarah, bahwa “kenyataan atau kejadian sesungguhnya, tidaklah sesimpel sebagaimana yang dinarasikan”. 

Sang Penyelamat Sebagai Manusia Biasa

Dalam buku “Maitreya, the Future Buddha” Alan Sponberg mendeskripsikan sosok Maitreya sebagai berikut:

Kami menemukan dia kadang-kadang digambarkan sebagai seorang bodhisattva yang rajin memupuk jalan menuju pencerahan di bumi dan kemudian sebagai seorang bodhisattva surgawi yang gemerlap di kediamannya di surga Tusita.

Kadang-kadang ia muncul seperti individu duniawi lainnya yang bertujuan mengabdi dan berkontemplasi, di sisi lain tampil sebagai pemimpin militan ekstrimis politik yang berusaha untuk membangun sebuah tatanan baru di masa sekarang ini.

Kita kadang-kadang melihatnya sebagai penerima pengakuan dosa dan kadang-kadang sebagai inspirator bagi para sarjana. 

Mungkin tidak ada figur lain dalam jajaran Buddhis yang menggabungkan universalitas dan kemampuan beradaptasi dengan cara yang dilakukan Maitreya.

Deskripsi Alan Sponberg ini menunjukkan jika Maitreya adalah manusia biasa yang menjalani hidup layaknya orang kebanyakan. Ungkapan seperti individu duniawi lainnya” menegaskan hal itu.

Di sisi lain, dalam tradisi Islam, Imam Mahdi disebutkan adalah orang biasa yang bahkan ia sendiri tidak mengetahui jika dirinya adalah Imam Mahdi yang dinantikan, kecuali setelah tiba pada momentum di mana Allah menghendaki untuk menampilkannya di tengah umat manusia.

Poin kohorensi yang ditunjukkan tema eskatologi dari tradisi Buddha dan tradisi Islam di atas adalah bahwa: “sang penyelamat akhir zaman” adalah manusia biasa, sama seperti kita.

Mengenal Lebih Dekat “Mesiah, Maitreya, dan Imam Mahdi”

Doktrin tentang kehadiran sosok penyelamat di akhir zaman sesungguhnya telah menjadi tema pembahasan selama ribuan tahun dalam berbagai tradisi agama.

Sekitar 2500 tahun yang lalu, ketika Sang Buddha Gautama sedang berkhotbah di Kerajaan Magadha, dia menyatakan tentang akan datangnya seorang Buddha di masa depan. Murid-muridnya yang menunjukkan minat yang besar meminta Buddha Gautama untuk berbicara lebih banyak tentangnya.

Buddha Gautama Kemudian mulai berbicara tentang Maitreya dan kemampuannya yang tak terukur, bahwa Maitreya akan dilahirkan ke dunia moral tertinggi dan kesalehan terdalam.

Sejak saat itu, wacana Maitreya sebagai penyelamat di akhir zaman menjadi doktrin dalam tradisi Buddha dari waktu ke waktu.

Kesengsaraan yang senantiasa meliputi kehidupan manusia di setiap bangsa dari masa ke masa, menginspirasi hadirnya kata “Sang Penyelamat” sebagai ungkapan yang agung, didasari kepercayaan dan harapan bahwa kehadiran sang penyelamat tersebut akan dapat menghilangkan penindasan atau apa pun yang menimbulkan kesengsaraan dalam hidup.

Di Israel kuno, penyelamat disebut “Masiah“, sebuah kata Ibrani yang berarti “yang diurapi,” ini merupakan asal kata “Mesianisme,” yang oleh pemikir modern mendefinisikannya sebagai jenis pemikiran dan gerakan yang percaya bahwa penyelamat akan datang pada akhir dunia ini – menghilangkan penindas dan menciptakan masyarakat yang ideal.

Konsep penyelamat ini juga diterapkan pada Yesus Kristus oleh orang-orang Kristen awal berbahasa Yunani. Kata “Kristus” berasal dari kata Yunani “Christos“, yang berarti “diurapi“. 

Christos merupakan terjemahan dari kata Ibrani “Masiah” (Mashiyach), umumnya dieja dalam bahasa Inggris mesias , yang juga berarti “diurapi“.

Shigeru Kamada, Profesor Studi Islam dari Universitas Tokyo dalam tulisannya “Mahdi and Maitreya (Miroku): Saviors in Islam and Buddhism” mengatakan: 

Sebenarnya, Mesianisme berarti jenis pemikiran dan gerakan yang berkembang dalam kerangka tradisi Yahudi-Kristen, tetapi dalam arti yang lebih luas, konsep ini dapat ditafsirkan untuk mencakup tradisi eskatologis dari berbagai agama lain yang mengharapkan kedatangan penyelamat. Mahdisme adalah salah satu pemikiran seperti itu yang muncul dalam konteks Islam, dan itu memberikan dasar doktrinal untuk reformasi sosial yang dirancang untuk membebaskan orang-orang yang tertindas dari penderitaan mereka.

Dalam tradisi Islam, diyakini bahwa Imam Mahdi akan datang ke dunia ini sebagai penyelamat di akhir zaman. Kata Mahdi berasal dari bahasa Arab yang berarti “yang dibimbing dengan benar“, atau “yang mendapat hidayah“.

Tidak ada referensi langsung tentang Imam Mahdi dalam Quran. Pembahasan mengenainya berasal dari beberapa hadits. 

Demikianlah, Hari ini, kita mendapati kenyataan bahwa pemikiran dunia modern cenderung mengasimilasi tradisi Maitreya dengan Mesiah, atau pun Imam Mahdi.

Fakta Ratu Sima sebagai Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha

Dalam tulisan sebelumnya (Mengungkap Sosok Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha) telah saya ungkap mengenai suatu nubuat yang diucapkan Buddha Sakyamuni (Siddhartha Gautama), bahwa akan hadir seorang Chakravartin perempuan yang akan memerintah Jambudvipa sebagai reinkarnasi Vimalaprabha. 

Nubuat tersebut terekam dalam Mahameghasutra (di Cina dikenal sebagai “Dayun jing”, dan oleh sejarawan hari ini dikenal dengan sebutan “The Great Cloud Sutra”). 

Ucapan Buddha bahwa Chakravartin perempuan tersebut akan hadir sekitar seribu tahun setelah ia parinirvana (kematiannya), menjadi acuan bahwa masa kedatangan Chakravartin perempuan tersebut berada di sekitar abad ke 6 M, oleh karena kisaran tahun kematian Buddha menurut negara-negara Theravada adalah 544 atau 545 SM. Dalam tradisi Buddhis Burma misalnya, tanggal kematian Buddha adalah 13 Mei 544 SM, sedangkan dalam tradisi Thailand adalah 11 Maret 545 SM. (Eade, JC:  The Calendrical Systems of Mainland South-East Asia, 1995) 

Disekitar masa itu (abad ke 6 hingga abad ke 7), ada permaisuri Wu Zetian yang mengklaim dirinya sebagai sosok Chakravartin yang diramalkan sang Buddha. Namun, dengan mencermati Track record Wu Zeitan yang dipenuhi intrik dan tindakan-tindakan keji selama hidupnya, maka saya pikir sangat tidak mungkin untuk menganggap Wu Zetian sebagai sosok Chakravartin sekaligus Bodhisattva yang dimaksudkan Buddha Sakyamuni.

Karena Bodhisattva sesungguhnya adalah seorang yang suci. Dikenal memiliki sifat welas asih dan sifat tidak mementingkan diri sendiri dan rela berkorban. Ia mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk selain dirinya di alam semesta. Ia dapat juga diartikan “calon Buddha”.

Silahkan baca pembahasan mengenai nubuat Buddha Sakyamuni dan intrik Wu Zetian di tulisan sebelumnya: Mengungkap Sosok Chakravartin (Penguasa Dunia) yang Diramalkan Sang Buddha.

Sebagai sosok alternatif untuk figur Chakravartin sekaligus Bodhisattva yang dimaksudkan Buddha Sakyamuni dalam nubuatnya, saya mengajukan sosok Ratu Sima yang juga merupakan pemimpin wanita yang hebat Di masa itu. Ratu Sima dari kerajaan Holing, oleh para sejarawan dianggap sebagai cikal bakal berdirinya dinasti Sailendra, yang menguasainya Nusantara hingga sebagian wilayah Indocina. 

Penobatan Ratu Sima sebagai raja di kerjaan Holing terekam dalam kronik Cina. Disebutkan bahwa pada tahun 674 M rakyat kerajaan Holing menobatkan seorang perempuan sebagai ratu yaitu ratu Hzi-mo [Sima]. Dalam saat yang sama, di Cina yang berkuasa saat ini adalah Kaisar Gaozong (Dinasty Tang).

Yang menarik karena ada banyak silang pendapat di antara para sejarawan mengenai asal usul Ratu Sima sebagai Ratu kerajaan Holing yang disebut dalam kronik Cina. Karena rupa-rupanya asal muasal Ratu Sima sulit terlacak.

Ini Jawaban Misteri Bahtera Nabi Nuh

Pencarian bahtera Nuh telah dilakukan setidaknya sejak zaman Eusebius (sekitar tahun 275-339 M) hingga hari ini. Meskipun telah banyak ekspedisi, namun tidak ada satupun bukti fisik yang dapat mengonfirmasi bahwa bahtera telah ditemukan.

Begitu misterinya pencarian bahtera Nuh, sehingga kalangan akademisi umumnya menganggap pencarian bahtera Nuh sebagai praktek pseudo-arkeologi, terutama jika itu dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari luar batas institusi akademis yang sudah mapan. 

Telah banyak lokasi yang dihipotesiskan sebagai tempat mendaratnya bahtera Nuh, tetapi belum ada satu pun dari lokasi tersebut yang Mengonfirmasi kebenarannya.

Situs yang paling sensasional sejauh ini yaitu yang berada di gunung ararat Turki. Namun, penyelidikan geologis Terkini menunjukkan jika situs tersebut lebih merupakan formasi sedimen alami. 

Terkait situs di gunung Ararat, Lorence G. Collins, seorang profesor geologi dari California State University, mengatakan jika situs yang berada di Turki timur, yang dianggap sebagai struktur berbentuk bahtera (disebut bahtera Durupinar), tidak mengandung kayu atau kayu yang membatu.

Menurut Lorence G. Collins, Tidak adanya kayu atau kayu yang membatu diindikasikan oleh koleksi 12 sampel batu yang diambil dari dalam “bahtera” yang telah ia teliti. Ia lebih lanjut mengatakan jika semua itu hanya merupakan batu basal atau andesit vulkanik. ( Lorence G. Collins. “A supposed cast of Noah’s ark in eastern Turkey”. Department of Geological Sciences, California State University Northridge. February 11, 2011)

Penelitian terkait Bahtera Nuh yang juga cukup sensasional, disajikan oleh Irving Finkel seorang filolog dan Assyriolog Inggris, dan saat ini menjabat sebagai kurator British Museum.

Di sekitar tahun 2014 lalu, Irving Finkel ramai diberitakan dalam berbagai media dunia, terkait pembuatan reka ulang secara skalatis model bahtera Nuh yang ia lakukan di Kerala, India. Model tersebut ia bangun berdasarkan cetak biru yang ia temukan pada tablet tanah liat dari Mesopotamia kuno yang menggunakan huruf cuneiform. Diperkirakan berusia 3.700 tahun.

Asal Usul Kata “Bahtera” Menyimpan Gambaran Kapal Nuh yang Sesungguhnya

Etimologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata, atau bisa juga dimaknai sebagai studi tentang sejarah suatu kata.

Umumnya dilakukan dengan menganalisis kesepadanan fonologis, gramatikal, dan leksikal dari bahasa yang kerabat atau dari periode historis dari satu bahasa, yang mana hal ini dikenal sebagai metode Linguistik Komparatif.

Dengan metode Linguistik Komparatif akar suatu kata dapat ditelusuri. Tak jarang hasilnya menunjukkan fakta bahwa suatu kata ternyata berasal dari gabungan dua kosakata. Ini diperlihatkan etimologi kata “bahtera”, yang selama ini agak khusus digunakan untuk menyebut bahtera Nuh.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bahtera bermakna: perahu; kapal. Dalam berbagai literatur dunia, kata ‘bahtera’ atau ‘ark’ (dalam bahasa Inggris), bisa dikatakan “secara khusus” digunakan untuk menyebut bahtera Nabi Nuh.

Karena kata ‘bahtera’ dapat diduga merupakan kosakata dari bahasa bangsa maritim, maka salah satu hal penting untuk menjadi pertimbangan adalah pengamatan bahwa leksikon atau kosakata tersebut mestilah memiliki ciri khas bahasa bangsa maritime atau bangsa pelaut.

Lalu, seperti apa ciri khas kosakata bahasa bangsa Maritim?

Ciri khas kosakata bahasa bangsa maritim adalah senantiasa menunjukkan suku kata yang berakhiran vokal. Hal ini sebagaimana yang diungkap John Inglis, seorang misionaris asal Skotlandia yang melakukan perjalanan ke Vanuatu antara tahun 1850-1877, bahwa ciri bahasa melayu adalah setiap suku kata berakhir dengan vokal.

Dengan pertimbangan bahwa kata ‘bahtera’ berasal dari bahasa bangsa maritim, maka bentuk rekonstruksi kata bahtera mestinya menjadi: bahatera.

Dari bentuk ‘bahatera’, dua suku kata di depan, yaitu ba-ha, dapat diidentifikasi berasal dari kata ‘waka’, yang dalam bahasa Bugis kuno berarti ‘kapal’.

Hal ini dapat kita ketahui dengan menganalisa perubahan fonetis yang terjadi antara dan yang merupakan bagian dari kelompok fonetis labial (yaitu: m, b, p, w), yang mana dalam banyak kasus memang seringkali menunjukkan perubahan fonetis di antara mereka. Misalnya: Banua, panua, dan wanua.

Demikian pula fonetis h, dalam banyak kasus, dapat kita temukan saling bertukar dengan fonetis dalam pelafalan, misalnya pada kata ‘hayal’ dengan kata ‘khayal’.

Ada pun kata ‘waka’ sebagai makna ‘perahu’ dalam bahasa Bugis kuno, dapat kita temukan dalam kamus bahasa Bugis – Belanda yang disusun oleh B. F. Matthes (1874) “Boegineesche – Hollandsch woordenboek …“. Dapat dilihat dalam capture berikut…

Capture buku ” Boegineesche – Hollandsch woordenboek: met Hollandsch – Boeginesche …, Volume 1 “. Hlm. 622

Dalam capture di atas dapat kita lihat kata wakka atau waka disebut Matthes sebagai sinonim untuk kata ‘lopi’ yang dalam bahasa Bugis juga berarti ‘perahu’. 

Matthes juga mengatakan jika kata ‘wakka’ dapat ditemukan dalam kitab La Galigo (La-Gal) dengan bentuk ‘wakka-tanette’ atau ‘wakka-tana‘, yang menurut Matthes bermakna kapal yang sangat besar – mengingatkan pada punggung gunung (tanette) dan atau suatu negeri (tana). 

Setelah Hawa Memohon Umur Panjang

Ilustrasi mother earth (gambar: pinterest.ch/cowfluff)

Dalam tulisan “Mengenal Personifikasi Hawa di Masa Kuno“, telah saya bahas mengenai  beberapa sosok dewi yang nampaknya merupakan wujud personifikasi Hawa di masa kuno.

Dalam tulisan tersebut, yang merupakan seri lanjutan tulisan-tulisan sebelumnya, seperti: Menyingkap Jejak Dewi Fajar di Pegunungan LatimojongSejarah Berhala Uzza, Sang Dewi Fajar“Negeri Timur Laut” Sebutan Kawasan Nusantara di Masa KunoRahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong, telah pula saya urai aspek filosofis yang mendasari lahirnya personifikasi tersebut.

Salah satu diantara personifikasi Hawa tersebut adalah Dewi Ushas (Dewi Fajar dalam tradisi Hindu), yang dalam Rigveda pada hymne 7.77 disebutkan telah memohon agar diberi umur panjang. berikut ini hymne tersebut kembali saya kutip: “dia juga mengajukan petisi untuk diberikan umur panjang, karena dia konsisten mengingatkan orang-orang akan waktu yang terbatas di bumi”.

Yang menarik adalah karena walaupun dalam hymne-hymne Rigveda selanjutnya tidak ditemukan pembahasan lanjutan secara spesifik mengenai “petisi umur panjang” tersebut, namun, beberapa figur dewa dewi yang disebutkan dalam catatan-catatan kuno India, pada faktanya, tetap memperlihatkan adanya benang merah.

Sebelum lebih jauh membahas tema ini, ada baiknya pembaca terlebih dahulu memahami model penggambaran dewa dewi dalam mitologi India. Yaitu bahwa umumnya sosok dewa dewi tersebut memiliki beberapa nama, yang mana tiap nama tersebut merupakan ekspresi dari aspek atau atribut yang ingin ditonjolkan atau yang ingin dipersonifikasi dari sosok dewa dewi tersebut.

Terkait Dewi Ushas atau Dewi Fajar, yang dalam mitologi India disebut sebagai istri dari Dewa Surya, yang mana di sisi lain, Surya adalah salah satu dari delapan bentuk (ashta murti) Dewa Siwa. Dengan demikian, kita dapat melihat aspek lain dari dewi Ushas pada istri Dewa Siwa.

Istri Dewa Siwa, Parvati, dikenal sebagai dewi ibu dalam agama Hindu, dan memiliki banyak atribut dan aspek. Setiap aspeknya diekspresikan dengan nama yang berbeda, memberinya lebih dari 100 nama dalam kisah-kisah Hindu regional India. Bersama dengan Laksmi dan Saraswati , ia membentuk trinitas dewi Hindu (Tridevi).

Salah satu nama lain yang menonjol dari Parvati adalah “tara“. Untuk diketahui, kata tanah atau tanarana atau ranah, yang kita kenal dalam bahasa Indonesia, kuat dugaan saya, berasal dari nama “tara” ini. 

antara kata taratana, dan rana, nampaknya terjadi Perubahan fonetis yang umum terjadi diantara fonetis kelompok artikulatoris dental, yaitu: n, d, t, r, l. (Pembahasan mengenai metode pencermatan morfologi bahasa seperti ini dapat anda baca dalam tulisan saya lainnya: Formula Kunci Mengurai Sejarah, dan Genetik Aksara Nusantara, Formula Kunci Mengurai Sejarah).

Jadi, jika pada tulisan sebelumnya “Mengenal Personifikasi Hawa di Masa Kuno“, telah saya jelaskan bahwa sebutan “banuwa” atau “banua” berasal dari nama dewi Nuwa yang merupakan personifikasi dari Hawa, maka pada tulisan ini, lebih jauh dapat saya tunjukkan jika kata sinonim untuk banua yaitu: tana/ tanah dan rana/ ranah, juga berasal dari wujud personifikasi Ibu Hawa lainnya.

Mengenal Personifikasi Hawa di Masa Kuno

Peta hipotesis eksistensi ibu Hawa (Dokpri)

Ibu Hawa bisa dikatakan sosok yang paling sedikit mendapat pembahasan dalam literatur sejarah manusia. Nampaknya, hal ini mungkin dikarenakan sosoknya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran profil Adam sebagai manusia pertama.

Namun demikian, pada kenyataannya, banyaknya jejak yang ia tinggalkan di dunia jauh melampaui jejak Nabi atau sosok penting manapun dalam sejarah manusia. 

Sosok personifikasinya hadir hampir dalam semua kebudayaan besar di masa kuno, dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Untuk memahami fakta hal ini, mengenal bagaimana sosoknya dipersonifikasi adalah satu-satunya jalan.

Dalam banyak mitologi, Nabi Adam dan Ibu Hawa disimbolisasi dalam beragam nama dan karakter. Personifikasi tersebut merupakan wujud konsekuensi dari sudut pandang bangsa-bangsa kuno dalam memahami dan mengapresiasi eksistensi sosok mereka. 

Di titik ini, Hal terpenting yang mesti dipahami adalah bahwasanya masa hidup Nabi Adam, dan terutama Ibu Hawa, jika merujuk pada literatur yang ada, bisa jadi mencapai masa hidup lebih dari seribu tahun. 

Jika dalam tradisi berbagai agama, disebutkan masa hidup Nabi Adam hampir mencapai seribu tahun (sekitar 960 tahun), maka Ibu Hawa yang ditinggal pergi, tidak ada satupun catatan yang secara spesifik menyebut berapa lama masa hidupnya. 

Dari personifikasi sosoknyalah sebagai Dewi Ushas dalam Rigveda, yang memungkinkan kita bisa mendapat sedikit gambaran, bahwa bisa jadi ia hidup lebih lama setelah meninggalnya Nabi Adam. 

Hal tersebut dapat kita cermati tersirat Pada Rigveda, hymne 7.77 : “dia juga mengajukan petisi untuk diberikan umur panjang, karena dia konsisten mengingatkan orang-orang akan waktu yang terbatas di bumi“. Tujuan permohonannya agar diberi umur panjang bisa dicermati pada hymne 1.48, yang berbunyi: “Dia yang memelihara/ merawat/ menjaga semua hal, layaknya seorang janda yang baik“. 

Secara pribadi saya membayangkan bahwa setelah ditinggal pergi suaminya, Ibu Hawa menyadari makna penting dirinya sebagai seorang ibu. Dan nampaknya ia berjuang untuk itu, untuk memastikan masa depan yang baik bagi anak cucunya. (Pemahaman ini tentu merupakan hal yang mengharukan bukan? … 🙂 … )

Fase-fase kehidupan Nabi Adam dan Ibu Hawa inilah yang kemudian termitologisasi dalam tradisi berbagai bangsa kuno. Ada mitologisasi yang menggambarkan kehadiran awal mereka di dunia, ada mitologisasi yang menggambarkan perjuangan mereka berdua, dan ada pula mitologisasi yang menggambarkan perjuangan ibu Hawa setelah ditinggal mati suaminya.

Karena itu, melalui pencermatan personifikasi mereka dalam mitologisasi tersebut, saya melihat bahwa kita sesungguhnya dapat merekonstruksi suatu gambaran besar kesejarahan berbagai bangsa kuno yang mengisi tiap stage-stage peradaban dunia dalam durasi waktu ribuan tahun di masa lalu. 

Hal Ini dapat dimungkinkan dengan mencermati fase kehidupan manakah dari Nabi Adam dan Ibu Hawa yang menjadi tema mitologisasi dari bangsa-bangsa kuno tersebut.

Dan berikut ini beberapa bentuk mitologisasi tersebut…

Jejak yang Hilang dari Orang Madyan, Kaum Nabi Syu’aib yang Mendapat Azab

(sumber gambar: Sumber: https://www.alamy.com )

Kisah Nabi Syu’aib dan orang-orang Madyan dikisahkan dalam Al Quran, pada surat Al-A’raf, ayat 85: Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib . Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. Bunyi ayat ini menggambarkan bahwa orang-orang Madyan adalah bangsa pedagang.

Lalu dimanakah sesungguhnya tanah orang-orang Madyan ini?

Menurut William G. Dever dalam bukunya Who Were the Early Israelites and Where Did They Come From? (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing, 2003. hlm. 34), Tanah alkitabiah Midian terletak di Semenanjung Arabia barat laut, di pantai timur Teluk Aqaba di Laut Merah (“Hejaz”). 

Beberapa ahli berpendapat bahwa “Midian” tidak merujuk ke tempat geografis atau suku tertentu, tetapi merupakan konfederasi atau “liga” suku yang disatukan secara kolektif untuk tujuan ibadah.

Paul Haupt yang pertama kali mengajukan saran ini pada 1909, menggambarkan Midian sebagai “kolektif kultus” (Kultgenossenschaft) atau “amphictyony“, yang berarti “asosiasi (Bund) dari berbagai suku di sekitar tempat perlindungan atau tempat suci.” Elath, di ujung utara Teluk Aqaba diusulkan sebagai lokasi kuil pertama, dengan tempat perlindungan kedua yang terletak di Kadesh.

Berikut ini pernyataan William J. Dumbrell terkait pendapat ini…

Catatan alkitabiah tentang aktifitas orang Midian atau kelompok terkait pada akhir Zaman Perunggu Akhir menunjukkan mereka sebagai orang-orang yang tampak di mana-mana ditemukan tidak hanya di wilayah Horeb/ Sinai dan juga di Mesir, tetapi juga mengangkangi rute perdagangan utara-selatan, di dataran Moab, dan tampaknya, jika habitat Bileam harus ditempatkan di atau dekat Pitru kuno, … setidaknya dalam pengaruh mereka, sejauh Sungai Efrat itu sendiri. 

Jelas bahwa, bahkan bagi para penulis Alkitab, mereka adalah entitas yang sukar dimengerti dan membingungkan, yang hanya sedikit diketahui secara langsung, dimana mereka banyak dikaitkan dalam hubungannya dengan banyak kaum. 

Apa yang dikatakan tentang mereka dikatakan dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok lain dan kepada Israel itu sendiri, di mana para penulis Alkitab secara alami jauh lebih tertarik. 

Dalam kaitannya dengan Israel dalam periode pembentukan bangsa setelah Eksodus dan pengembaraan di padang gurun, orang-orang Midian terbukti telah meninggalkan stempel sosiologis mereka pada banyak lembaga awal Israel, sementara pada saat yang sama mereka menyusup ke tingkat tertentu tetangga Israel yang berdekatan di Palestina selatan dan daerah Transyordania.