Chhatra (Payung) Sebagai Simbol Chakravarti, dan Kaitannya dengan Sebutan “Payung Ri Luwu”

Setelah dalam tulisan sebelumnya (Fakta Ratu Sima sebagai Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha) saya mengulas Ratu Sima atau Simpurusiang sebagai Chakravarti sesungguhnya yang disebutkan Buddha Sakyamuni, maka dalam bagian ini saya akan mengulas fakta lain bahwa memang Tana Luwu menjadi pusat pemerintahan Chakravarti tersebut (Ratu Sima atau Simpurusiang).

Dalam buku Ancient India (1968: 166), Mahajan V.D, Seorang sejarawan terkenal dari India, menjelaskan bahwa pemerintahan penguasa seperti Chakravarti (Sanskrit: Chakravartin) disebut Sarvabhauma, yaitu sistem kekaisaran utama.

Terminologi “Chakravarti” dianggap Mahajan V.D  sinonim dengan sebutan “Adhipatya”. Keduanya, menurut Mahajan V.D adalah sistem kekaisaran di mana kekuasaan raja memberi perlindungan yang berlebih kepada negara di luar perbatasannya, sebagai negara yang dominan.

Sementara dalam kamus Sanskrit Monier-Williams, sArvabhauma kurang lebih didefinisikan sebagai “kekuasaan atas seluruh bumi”, “kedaulatan atas seluruh bumi”, atau “kerajaan universal”. Kata “bhauma” sendiri bermakna: bumi, terestrial, duniawi, dan beberapa bentuk sinonim lainnya.

definisi Sarvabhauma dalam kamus online Monier-Williams (dicapture dari spokensanskrit.org)

Sebelum saya melanjutkan pembahasan  “sArvabhauma” atau pun “Bhauma”, terlebih dahulu saya ingin sedikit mengulas fakta bahwa salah satu tanda seorang cakravartin sebagai penguasa adalah “Chhatra” atau “payung”. 

Ini sejalan dengan pendapat DG Sircar dalam “Political Ideas in the Puranas” (1977: 69), bahwa: “kata cakra- vartin berarti sebuah kekaisaran… eka-Chatra (secara harfiah, seorang diri menikmati payung atau lencana kedaulatan), atau sarvabhauma (penguasa semua negeri, yaitu dunia bumi).

Fakta ini jelas berkorelasi dengan identitas Kedatuan Luwu yang identik dengan simbol “payung”. Luwu umum disebut dengan istilah “Pajung ri Luwu”. 

Jadi, Simpurusiang sebagai salah satu Raja dalam silsilah Kedatuan Luwu, dapat ditafsirkan menunjukkan jati dirinya sebagai seorang Chakravarti.

Adapun mengenai kata “bhauma” (pada kata “sArva-bhauma”), saya melihat ini identik dengan kata “Beuma”, yaitu sebuah nama wilayah yang berada di kaki gunung Sinaji, kecamatan Basse Sang tempe, Kabupaten Luwu (Sulawesi selatan).

Wilayah ini (sekitar kaki gunung Sinaji) dalam beberapa tulisan sebelumnya telah saya identifikasi sebagai pusat kerajaan Holing (ini salah satu tulisan saya yang membahas hal tersebut: Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling Terletak di Sulawesi). 

Dan memang, terdapat cerita turun temurun yang berkembang di Luwu, Toraja, serta beberapa wilayah lainnya di Sulawesi, bahwa leluhur kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi, berasal dari kaki gunung Sinaji ini.

Desa Ledan di Kabupaten Luwu. Masuk dalam wilayah yang akrab disebut “Beuma” oleh masyarakat setempat. (dokpri)

Hari ini, toponim “Beuma” tidak digunakan lagi oleh pemerintah setempat sebagai nama wilayah administrasi secara resmi (apakah itu nama desa atau kecamatan), tetapi masyarakat lokal masih menggunakan nama “Beuma” untuk menyebut wilayah sekitar kaki gunung Sinaji ini, meliputi beberapa desa yang ada disekitarnya.

Fakta Ratu Sima sebagai Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha

Dalam tulisan sebelumnya (Mengungkap Sosok Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha) telah saya ungkap mengenai suatu nubuat yang diucapkan Buddha Sakyamuni (Siddhartha Gautama), bahwa akan hadir seorang Chakravartin perempuan yang akan memerintah Jambudvipa sebagai reinkarnasi Vimalaprabha. 

Nubuat tersebut terekam dalam Mahameghasutra (di Cina dikenal sebagai “Dayun jing”, dan oleh sejarawan hari ini dikenal dengan sebutan “The Great Cloud Sutra”). 

Ucapan Buddha bahwa Chakravartin perempuan tersebut akan hadir sekitar seribu tahun setelah ia parinirvana (kematiannya), menjadi acuan bahwa masa kedatangan Chakravartin perempuan tersebut berada di sekitar abad ke 6 M, oleh karena kisaran tahun kematian Buddha menurut negara-negara Theravada adalah 544 atau 545 SM. Dalam tradisi Buddhis Burma misalnya, tanggal kematian Buddha adalah 13 Mei 544 SM, sedangkan dalam tradisi Thailand adalah 11 Maret 545 SM. (Eade, JC:  The Calendrical Systems of Mainland South-East Asia, 1995) 

Disekitar masa itu (abad ke 6 hingga abad ke 7), ada permaisuri Wu Zetian yang mengklaim dirinya sebagai sosok Chakravartin yang diramalkan sang Buddha. Namun, dengan mencermati Track record Wu Zeitan yang dipenuhi intrik dan tindakan-tindakan keji selama hidupnya, maka saya pikir sangat tidak mungkin untuk menganggap Wu Zetian sebagai sosok Chakravartin sekaligus Bodhisattva yang dimaksudkan Buddha Sakyamuni.

Karena Bodhisattva sesungguhnya adalah seorang yang suci. Dikenal memiliki sifat welas asih dan sifat tidak mementingkan diri sendiri dan rela berkorban. Ia mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk selain dirinya di alam semesta. Ia dapat juga diartikan “calon Buddha”.

Silahkan baca pembahasan mengenai nubuat Buddha Sakyamuni dan intrik Wu Zetian di tulisan sebelumnya: Mengungkap Sosok Chakravartin (Penguasa Dunia) yang Diramalkan Sang Buddha.

Sebagai sosok alternatif untuk figur Chakravartin sekaligus Bodhisattva yang dimaksudkan Buddha Sakyamuni dalam nubuatnya, saya mengajukan sosok Ratu Sima yang juga merupakan pemimpin wanita yang hebat Di masa itu. Ratu Sima dari kerajaan Holing, oleh para sejarawan dianggap sebagai cikal bakal berdirinya dinasti Sailendra, yang menguasainya Nusantara hingga sebagian wilayah Indocina. 

Penobatan Ratu Sima sebagai raja di kerjaan Holing terekam dalam kronik Cina. Disebutkan bahwa pada tahun 674 M rakyat kerajaan Holing menobatkan seorang perempuan sebagai ratu yaitu ratu Hzi-mo [Sima]. Dalam saat yang sama, di Cina yang berkuasa saat ini adalah Kaisar Gaozong (Dinasty Tang).

Yang menarik karena ada banyak silang pendapat di antara para sejarawan mengenai asal usul Ratu Sima sebagai Ratu kerajaan Holing yang disebut dalam kronik Cina. Karena rupa-rupanya asal muasal Ratu Sima sulit terlacak.