Identifikasi Jati Diri Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh

Selain dikenal sebagai tokoh penting dalam pewayangan – pengasuh / penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana, Semar juga merupakan entitas mistis yang mengisi panggung dunia spiritual masyarakat Jawa.

Mark R. Woodward, peneliti etnografi Jawa dari berkebangsaan Amerika, dalam bukunya berjudul “Islam Jawa ; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan” mengatakan: Semar juga dianggap sebagai pembimbing spiritual dalam pengertian yang lebih umum. Banyak mistikus Yogyakarta yang mencari inspirasi darinya dan secara rutin berkunjung ke candi di Serandil yang diyakini merupakan tempat berkubur.

Woodward juga mengatakan, ada pandangan yang berkembang di antara para mistikus Yogyakarta bahwa, peran Semar dalam mistisisme sama dengan Nabi Muhammad dalam sistem kesalehan Islam normatif. Beberapa di antaranya lebih jauh melukiskannya sebagai “nabi batin.

Hal ini dianggap Woodward sebagai tema yang menguat di dalam kepercayaan kraton Yogyakarta, tempat posisi Semar paralel dengan Sunan Kalijaga. Sebagaimana wali, Semar membantu Sultan mengatur wewenang yang ia transendensikan sendiri. Dalam hal ini, Sultan dianggap sebagai keturunan langsung dari Arjuna, dan karena itulah berhak atas bantuan dan perlindungan Semar. 

Lebih jauh Woodward juga mengatakan, para informannya yang berasal dari kalangan istana percaya bahwa Sultan bisa berbicara langsung dengan Semar, yang membimbing adminstrasi kerajaan maupun persoalan keagamaan pribadi Sultan.

Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya “Sufi pinggiran: menembus batas-batas” (2007:113-114) mengatakan, dalam tradisi Jawa Semar bukan saja tokoh dalam dunia wayang tetapi juga merupakan legenda dan mitos politik.

Dalam legendanya, Semar dikenal sebagai tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan karismatik sekaligus rasional. Selain itu ia juga menyimpan sumber daya kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayan atau kasekten dan kekuatan spiritual luar biasa.

Demikianlah kurang lebih, seperti apa keistimewaan sosok Semar dalam tradisi masyarakat Jawa.

“Puzzle” Pohon Cemara

Seperti biasa, ketika saya mengamati sesuatu objek yang ingin saya cermati, pendekatan linguistik dalam hal aspek homofon, menjadi salah satu fokus perhatian utama saya.

Nama ‘Semar’, dalam pandangan saya, cukup homofon dengan “cemara”. Dugaan awal ini kemudian saya tindaklanjuti dengan mencari tahu nama lain dari pohon cemara. Hasilnya, saya menemukan hal menarik, dan saya pikir berpotensi menjadi “puzzle” penting untuk mengungkap asal usul sosok Semar.

Nama latin pohon Cemara adalah “Casuarina“. Nama ini berasal dari sebutan pohon Cemara dalam bahasa Melayu yakni “Pohon Kasuari”. Habitat asli pohon ini adalah wilayah Asia tenggara, Benua Australia, hingga kepulauan di Pasifik. (sumber di sini)

Asal Usul Nama ‘Mihrab’ dan ‘Cella’, Tempat Paling Sakral di Dalam Kuil [full version]

Mihrab

Dalam tradisi agama Samawi, Mihrab dikenal sebagai tempat paling rakral dan suci dalam Baitul Maqdis (bait suci atau kadang juga disebut kuil Solomo). Ini adalah tempat di mana Maryam putri Imran (ibu Nabi Isa AS) melewatkan masa-masa kecilnya di dalam pengawasan Nabi Sakaria yang merupakan Imam Bani Israel kala itu.

Sebagai tempat paling suci di dalam kuil, Mihrab dijadikan sebagai tempat penyimpanan benda-benda sakral nan suci kaum Bani Israil. Sangat terbatas orang yang dapat mengakses tempat ini.

Istri Imran (dalam beberapa riwayat disebut bernama Hannah) yang melahirkan Maryam, pada awalnya bernazar bahwa bila ia memperoleh anak lelaki, ia akan membawanya ke rumah suci Baitul Maqdis. Anaknya akan mengabdi kepada Tuhan.

Hal ini terekam dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 35: (Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Pada saat tiba masanya Hannah melahirkan, ia tidak melahirkan anak laki-laki melainkan anak perempuan. Sesuai janjinya, Hannah lalu mengantar Maryam ke Baitul Maqdis.

Ketika itu, semua pemuka agama Bani Israel ingin mengasuh Maryam. Dalam riwayat diceritakan, untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan mengasuh Maryam, mereka bersepakat mengundinya dengan cara membuang pena (alat tulis) ke sungai. Pemilik pena yang tidak tenggelam adalah orang yang mengasuh Maryam.

Ternyata, hanya pena Nabi Zakaria yang tidak tenggelam. karena itu, Nabi Zakaria mengasuh Maryam. Kebetulan, Hannah (Ibu Maryam) dan istri Nabi Zakaria (Elisabet/ Elisyeba) adalah kakak beradik. Nabi Zakaria menempatkan Maryam di dalam Mihrab Baitul Maqdis.

Di dalam Mihrab ini Maryam banyak mendapat mukjizat salah satunya adalah mendapatkan kiriman buah-buahan dari Allah melalui perantara malaikatNya.

Hal ini terekam dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 37 yang berbunyi: Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab, dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.

Asal Usul Nama ‘Mihrab’ dan ‘Cella’, Tempat Paling Sakral di Dalam Kuil

Mihrab

Dalam tradisi agama Samawi, Mihrab dikenal sebagai tempat paling rakral dan suci dalam Baitul Maqdis (bait suci atau kadang juga disebut kuil Solomo). Ini adalah tempat di mana Maryam putri Imran (ibu Nabi Isa AS) melewatkan masa-masa kecilnya di dalam pengawasan Nabi Sakaria yang merupakan Imam Bani Israel kala itu.

Sebagai tempat paling suci di dalam kuil, Mihrab dijadikan sebagai tempat penyimpanan benda-benda sakral nan suci kaum Bani Israil. Sangat terbatas orang yang dapat mengakses tempat ini.

Istri Imran (dalam beberapa riwayat disebut bernama Hannah) yang melahirkan Maryam, pada awalnya bernazar bahwa bila ia memperoleh anak lelaki, ia akan membawanya ke rumah suci Baitul Maqdis. Anaknya akan mengabdi kepada Tuhan.

Hal ini terekam dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 35: (Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Pada saat tiba masanya Hannah melahirkan, ia tidak melahirkan anak laki-laki melainkan anak perempuan. Sesuai janjinya Hannah lalu mengantar Maryam ke Baitul Maqdis.

Ketika itu, semua pemuka agama Bani Israel ingin mengasuh Maryam. Dalam riwayat diceritakan, untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan mengasuh Maryam, mereka bersepakat mengundinya dengan cara membuang pena (alat tulis) ke sungai. Pemilik pena yang tidak tenggelam adalah orang yang mengasuh Maryam.

Ternyata, hanya pena Nabi Zakaria yang tidak tenggelam. karena itu, Nabi Zakaria mengasuh Maryam. Kebetulan, Hannah (Ibu Maryam) dan istri Nabi Zakaria (Elisabet/ Elisyeba) adalah kakak beradik. Nabi Zakaria menempatkan Maryam di dalam Mihrab Baitul Maqdis.

Di dalam Mihrab ini Maryam banyak mendapat mukjizat salah satunya adalah mendapatkan kiriman buah-buahan dari Allah melalui perantara malaikatNya.

Hal ini terekam dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 37 yang berbunyi: Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab, dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.

Fakta yang Menguatkan Dugaan Dewa Brahma Sebagai Personifikasi Nabi Ibrahim

Telah banyak kalangan yang berpendapat sama bahwa sebutan “brahma” berasal dari nama “Abraham” atau Ibrahim. Misalnya yang disampaikan Anna Bonus Kingsford, seorang Theosophist Inggris pada tahun 1880-an:

“Abraham , atau Brahma , – …mereka adalah satu, dan kata yang sama, dan menunjukkan satu doktrin yang sama” [Anna Bonus Kingsford: The Perfect Way: Or, The Finding of Christ, 1882; 2011 : 259]

Abdul HAQ Vidyarthi Maulana (1888 – 1977), seorang sarjana agama-agama besar dunia yang menyandang titel “The Vidyarthi” karena pengetahuannya yang luas tentang Veda Hindu, berpendapat bahwa  Brahma dan Abraham adalah dua nama dari satu orang yang sama.

Dan masih sangat banyak lagi para Ilmuwan yang berpendapat sama, bahwa Brahma adalah Abraham atau Ibrahim.

***

Fakta yang kita alami hari ini adalah bahwa, kita banyak bertengkar tentang agama oleh karena sejarah yang tidak tuntas digali para pendahulu. Entah itu karena disengaja atau tidak.

Sejarah mencatat, kitab weda paling kuno muncul di India utara, yang merupakan wilayah perlintasan Ibrahim dan keturunan-keturunannya dari teluk benggala (tempat hijrah mereka ketika bencana kekeringan yg parah melanda) menuju wilayah timur tengah.

Baca pembahasan saya dalam beberapa artikel di bawah ini yang merupakan seri pembahasan saya tentang jejak Nabi Ibrahim di kawasan Benggala sebagai wilayah tempat hijrahnya ketika bencana kekeringan yang sangat parah melanda sebagian besar wilayah di bumi:

Hal yang sama dinyatakan pula oleh sebagian besar sarjana yang percaya bahwa Hinduisme dimulai antara 2300 SM dan 1500 SM di Lembah Indus, dekat Pakistan modern.

Lembah Indus (sumber: wikipedia.org)

Kesamaan bunyi beberapa ayat suci agama Samawi dengan ayat suci dalam Hindu

Jika kita mencermati apa yang disampaikan dlm kitab veda, kita tidak bisa menyangkal bahwa pesan itu senada dengan pesan ketauhidan dalam agama samawi. Misalnya…

  • Yajurveda Ch. 32 V. 3 menyatakan: tidak ada rupa bagi Tuhan, Dia tidak pernah dilahirkan, Dia yang berhak disembah.
  • Yajurveda Ch. 40 V. 8 menyatakan: Tuhan tidak berbentuk dan dia suci.
  • Atharvaveda Bk. 20 Hymn 58 V. 3 menyatakan: sesungguhnya Tuhan itu Maha Besa
  • Rigveda Bk. 1 Hymn 64. V. 46 menyatakan: Tuhan itu Maha Esa, panggillah Dia dengan berbagai nama.
  • Yajurveda 40.1 menyatakan: Segala sesuatu di alam semesta yang selalu berubah ini diliputi (berada di dalam) Hyang Mahakuasa.

Dan masih banyak lagi.

Pada hari ini, merujuk etimologi umum seperti yang disarankan Monier-Williams, veda berarti “pengetahuan” dari akar kata sanskrit ved= tahu. Tapi apakah bentuk etimologi itu sudah benar?

Tidak bisakah kita melihat bahwa, veda ada kemungkinan terkait dengan kata “beda” dalam bahasa Indonesia? Hal ini tentu saja dimungkinkan, seperti halnya banyak kata dalam bahasa Indonesia yang kita ketahui dapat kita temukan kesamaannya dalam bahasa sanskrit.

Ini Bencana di Masa Nabi Ibrahim yang Berdampak Global dan Meruntuhkan Banyak Peradaban

Sains seharusnya tidak mentolerir penyimpangan presisi, atau mengabaikan anomali, tetapi memberikan jawaban esensi kepada dunia dengan rendah hati dan dengan keberanian” – Sir Henry Dale  

Para cendikiawan pada umumnya berpendapat bahwa masa hidup Nabi Ibrahim adalah di sekitar tahun 2200 SM, atau sekitar 4200 tahun yang lalu.

Misalnya yang disampaikan oleh Dr. Jerald F. Dirks, seorang yang awalnya pendeta kemudian memilih masuk Islam, dan merupakan ahli perbandingan agama dari Amerika. Ia memperkirakan Nabi Ibrahim lahir pada sekitar tahun 2166 SM. [Mu’arif: Monoteisme Samawi Autentik, 2018: 72]

Tahun kehidupan Nabi Ibrahim ini bisa dikatakan sezaman dengan saat terjadinya serangkaian bencana besar yang melanda hampir di seluruh wilayah muka bumi, yang dampaknya berlangsung hingga 200 tahun kemudian.

Berikut ini beberapa pernyataan yang diberikan para ilmuwan dunia terkait bencana besar tersebut.

Barry Setterfield, seorang ahli fisika, geologi, dan astronomi Amerika, menyampaikan dalam situs resminya bahwa: “Ada beberapa bukti peristiwa di seluruh dunia dalam interval antara 2500 SM dan 2200 SM yang mungkin bertanggung jawab atas penghancuran sejumlah peradaban dan budaya yang signifikan”.

Dalam artikel John Noble Wilford “Collapse of Earliest Known Empire Is Linked to Long, Harsh Drought” (The Times, 24 Agustus 1993), disebutkan bahwa suatu tim arkeolog, geolog, dan ilmuwan tanah telah menemukan bukti yang tampaknya memecahkan misteri penyebab keruntuhan tiba-tiba kekaisaran Akkadia sekitar 4200 tahun lalu. 

Kekaisaran Akkadia, menurut mereka, dilanda kekeringan 300 tahun dan benar-benar mengering. Sebuah analisis mikroskopis kelembaban tanah di reruntuhan kota-kota Akkadian di tanah pertanian utara mengungkapkan bahwa serangan kekeringan berlangsung cepat dan konsekuensinya parah, mulai berlangsung sekitar 2200 SM. 

“Ini adalah pertama kalinya perubahan iklim tiba-tiba secara langsung dikaitkan dengan runtuhnya peradaban yang berkembang,” kata Dr. Harvey Weiss, arkeolog Universitas Yale dan pemimpin tim peneliti Amerika-Prancis.

Dr Weiss mengatakan kesimpulan itu didasarkan pada pengujian tanah, terutama di lokasi tiga kota Akkadian dalam radius 30 mil, tempat-tempat yang sekarang dikenal sebagai Tell Leilan, Tell Mozan, dan Tell Brak di Suriah saat ini. Bukti perubahan iklim serupa ditemukan di daerah yang berdekatan.

Selain itu, pengamatan keramik dan artefak lainnya sebagai pelacakan bukti keberadaan orang Akkadia di Tell Leilan dan kota-kota utara lainnya, menunjukkan fakta pada para arkeolog tentang adanya kesenjangan 300 tahun dalam pendudukan manusia di Tell Leilan dan kota-kota tetangga. Interval tanpa tanda-tanda aktivitas manusia tersebut dimulai sekitar tahun 2200 SM. 

Temuan Jejak Migrasi Nabi Ibrahim 4200-an Tahun Lalu [update]

Menelusuri jejak hijrah atau migrasi Nabi Ibrahim pada masa lalu adalah hal yang penting, karena terkait erat dengan sebuah hadist Nabi Muhammad yang menyebutkan: “ada hijrah setelah hijrah… Orang-orang akan menuju ketempat Nabi Ibrahim pernah hijrah…”

Pertanyaannya, dimanakah sesungguhnya letak tempat hijrah Nabi Ibrahim tersebut?

Dalam tulisan sebelumnya (“Siang River” (Sungai Siang) Nama lain Sungai Brahmaputra, Bukti Kaum Madyan Berasal dari Kawasan Benggala), telah saya ulas mengenai kemungkinan nama Madyan (putra Nabi Ibrahim dari Istrinya yang bernama Keturah) berasal dari nama wilayah di mana ia lahir, yaitu ‘Madhyanagar’ yang artinya ‘Negeri tengah’ dalam bahasa Sanskrit ataupun bahasa India dan Bengali.

Telah pula saya jelaskan dalam tulisan “Temuan Jejak (Terkini) Orang Madyan, Aikah, dan Rass yang Disebut dalam Al-Quran” bahwa sebutan nama Madhyanagar yang meliputi wilayah Bangladesh dan sekitarnya pada hari ini (termasuk negara bagian india; Meghalaya dan Assam), berasal dari konsep pembagian wilayah di muka bumi di masa kuno, yang menempatkan wilayah tersebut tepat di tengah-tengah antara wilayah timur dan wilayah barat bumi.

Hal tersebut, bahkan hingga hari ini dapat kita saksikan kebenarannya, dengan mencermati bahwa wilayah tersebut berada di garis bujur 90 derajat, dengan merujuk pada konsep modern bahwa titik meridian (0 derajat) berada di Greenwich, dan Anti meridian (titik garis bujur 180 derajat) berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu (sebuah negara di samudera pasifik). 

Adanya bukti kuat bahwa Madyan putra Nabi Ibrahim terlahir di wilayah Benggala, membuka dugaan lain jika Nabi Ibrahim pun pernah pula hadir di wilayah ini. Mengenai dugaan ini, telah pula saya ulas dalam tulisan lainnya (“Meghalaya” Sisi Paling Bersejarah di Bumi yang Jarang Diketahui (dan Sebagai Wilayah Tujuan Hijrah Nabi Ibrahim di Masa Kuno).

Dalam tulisan tersebut, saya menunjukkan bahwa mencermati tahun masa hidup Nabi Ibrahim yakni sekitar 2166 SM membuka ruang hipotesis lain bahwa bencana kekeringan yang menyebabkan Nabi Ibrahim melakukan hijrah atau migrasi (diisyaratkan dalam Al Quran surat Al Ankabut ayat 26, dan banyak diriwayatkan dalam tradisi agama samawi), memiliki korelasi dengan bencana kekeringan panjang (Megadrought) yang terdeteksi oleh ilmuwan geologi memang pernah terjadi dikisaran 4200 tahun yang lalu, atau di masa hidup Nabi Ibrahim. 

Dalam tulisan itu juga, saya memaparkan beberapa bukti jika tujuan dari Migrasi Nabi Ibrahim adalah kawasan Teluk Benggala. 

Untuk lebih mendukung hipotesis saya terkait subyek ini, dalam tulisan kali ini saya akan kembali memaparkan beberapa hal, yang bisa dikatakan sebagai “jejak migrasi Nabi Ibrahim” di wilayah Benggala,  yang kali ini sumber informasinya berasal dari kepercayaan kuno komunitas ‘Dimasa’, penduduk asli di wilayah Assam dan sekitarnya.

“Meghalaya” Sisi Paling Bersejarah di Bumi yang Jarang Diketahui (dan Sebagai Wilayah Tujuan Hijrah Nabi Ibrahim di Masa Kuno)

Meghalaya yang dalam bahasa Sanskerta berarti “tempat tinggal awan”, adalah nama wilayah perbukitan di bagian timur laut India. 

Wilayah ini dianggap sebagai tempat terbasah di Bumi, dengan tingkat curah hujan tahunan yang mencengangkan yaitu rata-rata sebesar 11.871 mm (467,35 “). Bandingkan dengan Bogor yang digelari kota hujan, dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.500 — 4000 mm.

Bahkan, Mawsynram, sebuah desa di distrik Bukit Khasi Timur, Meghalaya, tercatat dalam Guinness Book of World Records, pemilik rekor tertinggi yang belum terpecahkan, yaitu menerima curah hujan 26.000 milimeter (1.000 in) pada tahun 1985. (sumber di sini)

Ibukota Meghalaya adalah Shillong. Selama pemerintahan Inggris di India, otoritas kekaisaran Inggris menjulukinya “Skotlandia Timur”. [Arnold P. Kaminsky dan Roger D. Long, “India Today: An Encyclopedia of Life in the Republic”, 2011 : hlm. 455-459]

Air terjun Noakalikai di Meghalaya (sumber: wikipedia.org)
Air terjun Noakalikai di Meghalaya (sumber: wikipedia.org)
Jembatan hidup terbuat dari akar pohon di Meghalaya. Disebutkan ada yang berusia hingga 500 tahun (sumber: www.fodors.com) 
Jembatan hidup terbuat dari akar pohon di Meghalaya. Disebutkan ada yang berusia hingga 500 tahun (sumber: http://www.fodors.com

Hal menarik lainnya dari Meghalaya adalah karena Komisi Internasional tentang Stratigrafi (ICS), badan ilmiah yang bertanggung jawab untuk mengusulkan nama-nama baru untuk sejarah geologi Bumi, memilih nama Meghalaya sebagai nama zaman terbaru dalam sejarah bumi, atau bagian terakhir dari tiga subdivisi dari seri zaman geologis Holosen.

Zaman di mana kita hidup saat ini, dalam ilmu geologi disebut zaman Holosen, yaitu zaman yang dimulai dari sekitar 11.700 tahun yang lalu, yaitu setelah akhir zaman es terakhir. Zaman Holosen ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni: Greenlandian, Northgrippian, dan Meghalayan. 

Sejak berakhirnya zaman es terakhir, iklim Bumi terus berfluktuasi. Pertama, ada periode hangat yang berlangsung dari 11.700 hingga sekitar 8.300 tahun yang lalu. Zaman inilah yang oleh para ilmuwan disebut sebagai zaman Greenland, atau awal holosen.

Selanjutnya, Bumi mengalami periode pendinginan bertahap dari sekitar 8.300 hingga sekitar 4.200 tahun yang lalu, Para ilmuwan kemudian menyebutnya sebagai zaman Northgrippian, atau tengah holosen.

Lalu  berikutnya, zaman terakhir Holocene dimulai sekitar 4.200 tahun yang lalu hingga saat ini, dikenal sebagai Zaman Meghalaya. Zaman ini oleh para ilmuwan disebut dimulai dengan perisiwa kekeringan yang sangat merusak (Megadrought), yang efeknya berlangsung hingga 200 tahun, dan dianggap bertanggung jawab menghancurkan sejumlah peradaban di seluruh dunia. 

Kekeringan tersebut sangat berpengaruh terutama pada masyarakat berbasis pertanian. Hal yang pada gilirannya menyebabkan dimulainya migrasi manusia yang luas dari daerah-daerah seperti Mesir, Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Lembah Sungai Yangtze. (sumber di sini dan di sini)

Alasan dipilihnya Meghalaya sebagai nama zaman Holosen Terakhir, adalah data kunci Global Boundary Stratotype Section and Point atau di singkat GSSP ( titik acuan pada bagian stratigrafi yang mendefinisikan batas bawah dari panggung skala waktu geologi) yang ditemukan tim peneliti pada stalagmit yang tumbuh di Gua Mawmluh, yang terletak di negara bagian Meghalaya, India.

Gua Mawmluh di Meghalaya (gambar: www.devdiscourse.com)
Gua Mawmluh di Meghalaya (gambar: http://www.devdiscourse.com)
Stalagmit dari Gua Mawmluh (Meghalaya - India) dengan GSSP untuk dasar Tahap awal Zaman Meghalayan. (sumber: scroll.in)
Stalagmit dari Gua Mawmluh (Meghalaya – India) dengan GSSP untuk dasar Tahap awal Zaman Meghalayan. (sumber: scroll.in)

“Siang River” (Sungai Siang) Nama lain Sungai Brahmaputra, Bukti Kaum Madyan Berasal dari Kawasan Benggala

Dalam tulisan sebelumnya “Makna Dibalik Nama Nabi Syuaib … , saya mengungkap fakta bahwa nama “Shu’ayb” yang bermakna “cabang” atau “percabangan” pada dasarnya juga memiliki keterkaitan dengan makna nama kaumnya sekaligus nama negerinya yaitu: Madyan.

Negeri Madyan berarti “negeri tengah” (madya= tengah). Disebut demikian karena posisinya tepat berada di tengah-tengah percabangan antara wilayah timur dan barat bumi.

Dalam tulisan kali ini, saya kembali akan memaparkan informasi lain yang dapat menjadi fakta bahwa kaum Madyan memang berasal dari kawasan teluk Benggala.

Fakta yang maksud, yaitu keberadaan sungai Brahmaputra yang mengalir di wilayah tersebut. Sungai ini melintasi wilayah Assam dan Meghalaya (di sebelah barat India) lalu memasuki wilayah Bangladesh, untuk kemudian bermuara di laut teluk Benggala.

Makna dari nama sungai Brahma-putra ini besar dugaan saya merujuk pada makna: “Putra Nabi Ibrahim” – yaitu Madyan bin Ibrahim. 

Jadi, nama kaum Madyan bukan berasal dari nama Madyan putra Ibrahim, tapi sebaliknya, nama Madyan putra Ibrahim  berasal dari nama wilayah tersebut. Adanya nama sungai Brahmaputra yang berarti “Putra Brahma” atau “Putra Abraham” menguatkan argumentasi ini. 

Di sisi lain, hal ini menjadi sinyal bahwa sangat besar kemungkinan jika Nabi Ibrahim pernah hadir dan bereksistensi di wilayah ini (teluk Benggala dan sekitarnya). Kenyataan inilah yang saya anggap dapat menguatkan pendapat para ahli selama ini bahwa ‘Brahma’ dan ‘Abraham’ adalah orang yang sama.

Hal lain yang menguatkan jika nama “negeri Madyan” berasal dari konsep pembagian wilayah di muka bumi menurut posisi matahari di langit, berasal dari nama lain sungai Brahmaputra yaitu “Siang River” (Sungai Siang) atau bisa dimaknai “sungai tengah hari”.

Ini mengukuhkan hipotesis saya bahwa wilayah tersebut dahulunya memang diplot sebagai wilayah “Negeri tengah” atau “Negeri Tengah hari” yang mana sesuai dengan keberadaan toponim “Madhyanagar” di wilayah tersebut.

“Madhyanagar” berasal dari kata “madhyAhna” yang berarti “siang” atau “tengah hari”; dan “nagara” yang berarti  “Negeri”. Ini bukti kunci bahwa pada masa lalu daerah ini disebut: “Negeri madhyAhna” atau “Negeri Siang” atau “Negeri Tengah Hari”. Pembahasan rinci mengenai hal ini telah saya urai di artikel “Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno”.

Nama “Sungai River” sendiri merupakan sebutan orang-orang di wilayah Arunachal Pradesh (negara bagian India di sisi timur laut) untuk Sungai Brahmaputra.

Temuan Jejak (Terkini) Orang Madyan, Aikah, dan Rass yang Disebut dalam Al-Quran

Orang Madyan, Aikah dan Rass adalah kaum yang diriwayatkan mendapat azab di dalam Al Quran.

Kepada kaum Madyan dan Aikah, Al Quran secara jelas menyebutkan Syuaib sebagai nabi yang diutus untuk memberi peringatan.

Sementara itu, untuk kaum Rass meskipun Al Quran tidak menyebut siapa nabi yang diutus kepada mereka, tetapi ada banyak riwayat dalam tradisi Islam yang menyebutkan jika nabi Syuaib yang diutus kepada mereka, sebagian lagi menyebutkan seorang nabi bernama Hanzhalah bin Shafwan.

Mengenai letak wilayah ketiga kaum ini, pada umumnya para ahli berpendapat jika kaum Madyan dan kaum Aikah adalah sama atau setidaknya letak wilayahnya berdekatan, yaitu di wilayah semenanjung Arabia barat laut, di pantai timur Teluk Aqaba di Laut Merah (“Hejaz”).

Sementara itu untuk wilayah komunitas Rass, hingga saat ini tidak jelas, terutama karena begitu banyak pendapat yang berbeda yang muncul terkait mereka.

Menurut Ibnu Jurayj dari Ibnu ‘Abbas,  komunitas Rass adalah penduduk negeri Tsamud (yang berarti merujuk pada kawasan pegunungan semenanjung Arab bagian utara, antara Hijaz dan Tabuk. Karena negeri Tsamud oleh banyak cendikiawan diperkirakan berada di kawasan tersebut, setelah sebelumnya bermigrasi dari semenanjung Arab Selatan). 

Menurut pendapat Yunus bin Abdul A’la, komunitas Rass terletak di Yamamah yang lebih dikenal dengan nama Falaj, sedangkan menurut pendapat Ibnu Abi Hatim dan cendikiawan muslim lainnya mengatakan, bahwa penduduk itu terletak di Azerbaijan. (sumber di sini)

Kita mendapat gambaran profil komunitas Rass yang cukup informatif dari penjelasan Ali bin Abu Thalib mengenai Ashabur Rass, yang mengatakan bahwa: 

“Kaum Rass adalah sebuah kaum yang menyembah pohon sanobar, yang diberi nama Syah Dirakht, secara bahasa memiliki arti “Raja Pohon”. Dikatakan bahwa yang pertama kali menanam pohon itu adalah Yafith bin Nuh pasca badai topan di tepian mata air, mata air tersebut dikenal dengan sebutan Rowsyan Oub. 

Kaum Rass memiliki dua belas desa yang makmur di tepian sungai yang dinamakan Sungai Rass. Desa-desa tersebut bernama Oban, Odzar, Die, Bahman, Isfand, Farwadin, Ordi Bahsyt, Khordad, Murdad, Tiir, Mihr, dan Syahriwar, kemudian nama-nama desa tersebut oleh Bangsa Persia dijadikan nama-nama bulan dalam sistem penanggalan mereka.

Penduduk desa tersebut menanam pohon sanobar di setiap desa. Mereka mengairinya dengan irigasi yang berpusat di pohon sanobar tersebut. Mereka juga mengharamkan diri untuk minum dari air tersebut, baik untuk diri mereka atau ternak mereka. Mereka membuat aturan siapa yang meminumnya, maka akan dibunuh. Mereka meyakini, bahwa pohon sanobar tersebut dianggap sebagai Hayat al-Ilahiyah (Kehidupan Ketuhanan), maka terlarang bagi siapapun untuk mengambil kehidupannya.

Dijelaskan juga bahwa komunitas Rass mengadakan perayaan sehari pada setiap bulan sebagai event dimana persembahan dari masing-masing desa dilangsungkan. Puncak hari raya mereka disebut Isfandr.

Makna Dibalik Nama Nabi Syuaib (yang berhubungan dengan makna nama kaumnya: Madyan)

Melalui studi perbandingan agama kita dapat mengetahui jika yang dikenal sebagai nabi Shu’ayb dalam tradisi Islam adalah sama dengan seseorang yang bernama Yitro (Jethro) yang disebut di dalam Alkitab.

Hal ini dikuatkan terutama dengan mencermati pernyataan dalam Al-Quran (surat Al Qasas ayat 23-28), yang membahas perjumpaan nabi Musa dengan seorang sheikh atau pemimpin kaum Madyan (yang oleh para ahli tafsir mengidentifikasinya sebagai nabi Shu’ayb), yang kemudian menikahkan Musa dengan salah seorang anak perempuannya. 

Lalu, dengan kisah senada yang diriwayatkan dalam Alkitab (Keluaran 18), yang menyebutkan Yitro, seorang gembala Keni dan pendeta kaum Midian, sebagai mertua Nabi Musa.

Hal yang perlu mendapat perhatian di sini adalah penyebutan Yitro sebagai seorang gembala suku Keni. 

Banyak kalangan menyebutkan bahwa ‘Keni’ adalah terjemahan bahasa Ibrani “Qeyniy”. Yang oleh Heinrich Friedrich Wilhelm Gesenius (1786-1842), seorang orientalis Jerman, dan kritikus Alkitab, dijelaskan bahwa nama tersebut berasal dari nama Kain (Qayin), putra pertama Nabi Adam.

Penjelasan nama suku Keni sebagai bentuk derivasi dari nama Cain putra Adam (sumber: www.blueletterbible.org)
Penjelasan nama suku Keni sebagai bentuk derivasi dari nama Cain putra Adam (sumber: http://www.blueletterbible.org)

Pemahaman bahwa suku Keni merupakan keturunan dari Cain inilah yang mendasari sebagian kalangan ada yang berpendapat jika suku Keni (suku nomaden yang mendiami wilayah kuno Levant) konon berasal atau bermigrasi dari Asia selatan, dikarenakan, dalam tradisi agama Samawi (Yahudi, Kristen, maupun Islam) dipercaya bahwa Nabi Adam diturunkan di India.

Di sisi lain, data studi genetik mutakhir pun pada dasarnya telah menyiratkan adanya gelombang migrasi pada masa prasejarah yang berasal dari Asia selatan dan Asia Tenggara, yang menyebar ke Eurasia, Timur Tengah, hingga Eropa.

Selain Nama Shu’ayb dan Yitro, ada pula disebut nama “Reuel”, disebut sebagai mertua Musa Dalam Alkitab Keluaran 2: 18, tetapi kemudian kembali disebut sebagai “Yitro” pada Keluaran 3: 1.

Fakta bahwa ada tiga nama (Shu’ayb, Yitro, dan Reuel) untuk satu orang yang sama, tidak perlu membuat kita memunculkan pertanyaan “mana nama yang asli?” karena bisa dikatakan semua asli dan memiliki nilai pemaknaan tersendiri. Berikut ini makna nama-nama tersebut…